Senin?!
Seharusnya, Freesia sudah berada di sekolah dan sudah mengikuti upacara bendera yang dilakukan tiap senin. Seharusnya, ia sedang berbaris di samping Ina dengan terik matahari yang menyengat. Seharusnya.
Tapi apa yang ia lakukan sekarang? Tubuhnya terbaring di tempat tidurnya dengan selimut menutupi tubuhnya sampai dada. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya kering. Hidungnya tersumbat. Suhu badannya panas.
Semangkuk bubur putih yang Wina-Ibunya buatkan untuk Freesia tergeletak begitu saja di nakas. Belum di sentuh sedikitpun.
Tubuh mungilnya menghadap ke kiri. Sementara tangannya memegang buku roman klasik Inggris berjudul Pride and Prejudice karya Jane Austen yang terkenal pada tahun 1813, bahkan sampai sekarang. Sebuah kisah tentang seorang Elizabeth Bennett yang berlatar kerajaan Inggris.
Freesia ingat, ia membeli buku itu di Grand Indonesia tiga bulan lalu. Dan yang paling ia ingat, bukan apa yang ia beli setelah itu. Melainkan siapa yang pergi bersamanya waktu itu. Siapa lagi kalau bukan Rei.
Ina : bolos mulu lo. Ga kapok apa kena omelan Pak Yanto
Ia menatap jam dinding sekilas. Pukul delapan pagi. Pantas saja Ina bisa mengiriminya chat karena upacara sudah berakhir tiga puluh menit yang lalu.
Freesia : tuan puteri sedang sakit. Jadi dimohon untuk tidak menganggu
Ina : boong banget. Kaya bisa sakit aja
Ina : oh iya, lupa. Sakit hati ditolak Rei ya? Hehe :)
Freesia : sialan. Pulang sekolah kesini ya. Bawain gue red velvet cake yang di Epilogue. GPL
Ina : mls
Freesia : ga usah nginep di rumah gue lagi
Ina : iya tuan puteri
Freesia cekikikan sendiri membaca chatnya dengan Ina. Temannya yang satu itu gampang sekali untuk dibohongi. Padahal, Freesia juga sangat senang dan berharap Ina akan menginap di rumahnya lagi, seperti sebelumnya.
Selang beberapa menit, ia kembali mendapat chat. Bukan, bukan dari Ina. Tapi Abi,
Abi : dengerin omongan guru. Jangan main hp mulu
Freesia : apaan sih, kok sok tau amat
Abi : ini buktinya lo bales chat gue
Freesia : lagi ga sekolah gue. Sakit
Abi : oh
Abi : dan sayangnya, gue ga nanya
Freesia : ngeselinnnn bangettttt. Untung gue orang paling sabar ketujuh versi on the spot
Cukup lama Abi tidak membalasnya. Sekitar enam atau tujuh menit-an.
Abi : get well soon :*
Freesia tersenyum. Wajahnya memerah hanya karena tanda titik dua bintang dari cowok itu. Dengan cepat, Freesia mengetikan balasan.
Freesia : najis
Munafik?
***
"Abi?" Merasa namanya di panggil, Abi menoleh ke belakang. Dilihatnya Denis dengan kaus kuning polos dan celana basket sekolahnya. Tanganya sibuk membawa wadah berisi jeruk, apel, dan sebagainya.Denis mendekati temannya itu. Dan tersadar bahwa kini Abi sesang berada di depan rumah Freesia, dan masih memakai seragam sekolah. "Ngapain lo?"
"Jenguk doi," jawab Abi. "Lo sendiri, ngapain?"
"Sama. Nih," ia menunjukan keranjang buah di tangannya. "Disuruh nganterin buah sama nyokap gue."
Abi mengangguk. "Masuk aja, yuk."
Tanpa ragu, Denis membuka slot gerbang rumah Freesia yang berwarna hitam. Ia menyelonong masuk. Abi membuntutinya di belakang.
Kebetulan, pintu rumahnya sedang dibuka. Jadi mereka tidak perlu repot-repot mengetuknya.
"Asalamualaikum," ucap keduanya bersamaan.
Seorang wanita paruh baya mengampiri mereka. Wajahnya tampak senang menyambut Denis dan satu laki-laki di sampingnya yang namanya belum ddiketahui.
"Eh," katanya ramah. "Ayo, masuk-masuk."
Sebelum masuk, kedunya mencium tangan Wina terlebih dulu. "Saya Abi, Tan, temannya Freesia," Abi tersenyum ramah. Kini ia sudah berada di dalam rumah cewek itu.
"Ekhm," Denis mendeham. "Ini, Tan, buah dari Mama buat Freesia, katanya."
Wina menyambut pemberian Denis dan meletakannya di meja ruang tamu. "Makasih ya," ia tersenyum. "Kalian ke kamarnya Freesia aja. Ada Ina juga di sana."
"Iya, Tante."
"Ina siapa?" Bisik Abi ketika sudah menaiki tangga.
"Temennya Freesia."
"Oh."
Abi dan Denis sudah berada di depan kamar Freesia. Terdengar suara cekikikan dari dalam. Mungkin saja Ina. Abi memutar knop pintu tersebut sehingga terbuka. Kemudian, keduanya masuk ke dalam.
Freesia cukup terkejut dengan kehadiran Abi yang tiba-tiba. Padahal saat di chat tadi, cowok itu tampak cuek dengan keadaannya.
"Nih, gue bawain serabi," Abi menaruh kantung plastik hitam itu di atas nakas, samping bubur Freesia yang belum tersentuh. "Suka, kan?"
Freesia merubah posisi semulanya menjadi duduk. Bersandar pada kepala tempat tidur. Alisnya menyerit. "Siang-siang gini, emang ada yang jual serabi?"
"Belinya jauh tuh. Harus nyebrang pulau dulu."
Freesia memeletkan lidahnya, bermaksud meledek Abi.
"EKHM!" Ina mendeham kencang. Freesia menoleh ke arah sahabatnya itu lalu terkekeh pelan, seolah mengerti maksud dari dehamannya.
"Ina, ini Abi," katanya melirik Ina dan Abi bergantian. "Abi, ini Ina."
"Gue nggak dikenalin?" Denis memelas.
Ina berdecak, "Terserah lo, Den."
Untuk apa kenalan? Toh, Denis dan Ina sudah cukup kenal, karena cewek itu sering mendatangi rumah Freesia.
"Sakit apa, sih?" Tanya Abi.
"Demam sama flu biasa. Besok juga sembuh," jawabnya.
"Kalo besok lo sembuh, kita jalan-jalan deh. Mau nggak?"
Freesia, Abi, Ina, mengangguk. "Mau!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh And Pain
Teen FictionKarena kabur dari hukuman yang diberikan guru matematika killer itu, Freesia tidak sengaja bertemu dengan Abi. Sejak saat itu, keduanya menjadi sering bertemu dan semakin dekat. Freesia menganggap Abi sebagai teman yang baik dan asik. Ya, hanya seba...