Setelah menjemur jas hujannya di jemuran yang berada pada pojok halaman rumah, Abi berjalan gontai memasuki rumah. Bau harum masakan menyeruak di hidungnya. Suara penggorengan dan sodet alumunium yang beradu juga terdengar jelas ditelinganya.
Ia berjalan menuju dapur dan mendapati Ibunya sedang memasak untuk makan malam nanti. Sebuah apron merah melekat ditubuh wanita berusia hampir 40 tahun itu.
"Masak apa, Ma?" Tanya Abi. Ibunya sedikit terlonjak mendengar suara anak pertamanya itu. Karena saking asiknya memasak, ia sampai tidak menyadari keberadaan Abi.
Ibunya menoleh sejenak, lalu kembali fokus pada masakannya. "Tumis kangkung, kesukaan Papa kamu."
Abi hanya mengangguk-angguk sambil membulatkan bibirnya. Matanya berbinar begitu melihat ayam goreng yang sudah ditata ke dalam piring. Cowok itu mendekat ke arah meja dapur, tempat ayam goreng kesukaannya itu diletakan. Belum sempat tangannya meraih ayam tersebut, Ibunya menepuk tangan Abi. Ia meringis kesakitan. "Ah, Mama pelit."
"Itu buat makan malem. Nanti keburu abis. Kamu kan rakus."
Abi mendengus, "Enak aja! Yaudah, Mama ngga aku ajarin main Instagram lagi, nih."
"Ih, bodo. Emang anak Mama cuma kamu doang." Balas Ibunya tak mau kalah.
Tepat saat itupula, Rana, Adiknya, datang dengan ponsel ditangan kirinya. Cewek itu langsung mencomot ayam goreng buatan Ibunya dan memakannya seraya bergumam tidak jelas.
"Itu Rana boleh, giliran Aku aja diomelin. Huh," gerutu Abi.
Rana tertawa kencang, "Hahaha. Mungkin lo harus belajar how to be a good child sama gue, Kak."
"Iya, terserah." Kemudian, Abi menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar.
Abi mendengar gumaman Rana di bawah sana dengan samar. Masa bodo lah. Ia masih kesal dengan tragedi 'ayam goreng' tadi. Sebenarnya tidak begitu kesal, sih. Yah, lagipula, memangnya ia anak kecil umur empat tahun yang kesal karena tidak diberikan ayam goreng oleh Ibunya?
Begitu sudah berada di dalam kamar, Abi langsung merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Sepersekian detik kemudian ia membuka mata dan meraih ponselnya di saku celana. Jemarinya mengetikan sesuatu untuk orang diseberang sana.
Yang fokus siarannya. Jangan mikirin gue terus. Gue tau kalau gue ini ngangenin.
Refleks, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas begitu melihat pesan yang baru saja dikirim. Tak lama kemudian, orang itu mengirimkan balasan yang membuat Abi semakin bersemangat.
"Kak, lo ngapain di kamar gue?" Rana berdiri di ambang pintu sambil berkacak pinggang. Persis seperti Ibu kos yang sedang memarahi orang yang tidak bayar uang sewa.
"Numpang." Jawab Abi, masih tetap asik dengan ponselnya.
Rana mendekat dan duduk di tepi kasur. Cewek itu menatap Kakanya dengan tatapan menyelidik. Ia tertegun beberapa detik sampai akhirnya bersuara, "Lo lagi chat sama siapa, sih? Pake senyum-senyum gitu?"
"Mau tau aja!"
"Emang! Kasih tau, kek!" Rana menarik bagian bawah kaus Abi.
Abi mendecak, "Ck! Rana, gue tau Kakak lo yang satu ini ganteng dan mudah bikin sayang. Tapi kan status kita kan cuma Adik-kakak. Jadi lo nggak boleh suka apalagi cemburu sama gue."
Rana meraih penggaris di meja belajarnya lalu memukul tangan Abi dengan pengaris tersebut. "Apaan sih lo, Kak!"
Abi tertawa terbahak-bahak. Sementara Rana memasang wajah kesal sambil terus memukul tangan Kakanya.
"Udah, udah, sakit." Abi menjauhkan tangannya dari Rana.
Pandangan cowok itu beralih pada jam dinding yang menempel ditembok bercat putih ini. "Wuih, jam 5! Setel radio dong, Na." Pintanya.
Rana menautkan alisnya. "Sejak kapan lo suka dengerin radio?"
"Buruannnnn!" Abi mendorong tubuh Adiknya.
Telunjuk tangannya memencet salah satu tombol yang ada pada radio usang itu. Radio jadul berwarna abu-abu bekas Ayahnya dulu.
Radio dinyalakan. Setelahnya, terdengar suara perempuan yang tak asing bagi Abi. Freesia, tapi Abi lebih suka memanggilnya Adel. Bukan apa-apa, ia suka karena sama-sama berawalan A. Temannya yang ia kenal beberapa hari yang lalu.
Abi mendengarkan suara Freesia dengan saksama. Suara gadis itu terdengar ceria. Berbeda dengan aslinya yang terkesan cuek. Ah, tapi tetap saja dia cantik. Eh, apa barusan?!
"Kak, lo belom jawab pertanyaan gue," ucap Rana sedikit memaksa.
"Yang mana? Lo kan banyak nanya."
"Pertama, siapa yang lagi chattingan sama lo sampe senyum-senyum nggak jelas. Kedua, sejak kapan lo suka dengerin radio."
Abi tidak mendengarkan ucapan Adiknya. Ia justru sibuk mendengarkan suara Freesia yang terdengar dari radio. Karena kesal ucapannya tidak ddidengar, Rana beranjak dan mematikan radio. "Keluar lo dari kamar gue!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh And Pain
Teen FictionKarena kabur dari hukuman yang diberikan guru matematika killer itu, Freesia tidak sengaja bertemu dengan Abi. Sejak saat itu, keduanya menjadi sering bertemu dan semakin dekat. Freesia menganggap Abi sebagai teman yang baik dan asik. Ya, hanya seba...