Abiarsha Gantara. Cowok yang kini ahli dalam teknik mesin itu baru saja keluar dari gedung pertemuan. Ia baru saja bertemu dan melakukan rapat dengan para pimpinan tempat ia bekerja. Ia berjalan menyusuri tempat dimana mobilnya terparkir.
Banyak aspek yang berubah dari cowok itu. Kini ia tampil gagah dengan setelan tuksedo hitam dan celana bahan yang melekat pada tubuh kekarnya. Cowok yang dulunya bodoh saat pelajaran biologi itu kini sukses besar di negeri Jerman. Usahanya selama ini membuahkan hasil.
Ia melajukan mobil sedannya dengan kecepatan sedang. Membelah jalan menuju apartmennya yang tidak begitu ramai.
Hal yang paling Abi suka dengan sore hari di Jerman. Udaranya sejuk dan damai. Kebetulan, musim semi sedang berlangsung.
Abi berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai empat.
Pintu berwarna putih itu terbuka begitu Abi menempelkan ibu jarinya di kunci scan sidik jari. Ia melepas jas yang daritadi membalut tubuhnya. Lalu mengambil kabel dan mencharge ponselnya. Begitu sambungan kabel terhubung, Abi menyalakan ponselnya sambil mencharge. Abi membuka kotak masuk E-mailnya yang sudah penuh. Tapi, di antara pesan-pesan penting itu, ada pesan yang juga tak kalah pentingnya.
Pesan itu dikirimkan dua hari yang lalu pukul sebelas siang. Pesan yang dikirim oleh seseorang yang sudah bertahun-tahun wajahnya tidak ia jumpai. Abi tersenyum ketika membaca pesan itu. Senyuman tulus dari seseorang yang menunggu untuk waktu yang sangat lama.
Abi mengambil sebuah benda yang ditaruh paling atas lemarinya. Benda bersampul hitam itu berdebu. Abi membersihkannya dengan telapak tangan, lalu membuka album yang diberi nama 10 Things That I Really Love.
Cowok itu tersenyum melihat-lihat album yang diberikan Freesia di bandara beberapa tahun silam. Di halaman pertama, ada foto keluarganya yang sangat indah. Lembar kedua, ada sosok dirinya dan Ina yang bergaya dengan lucu. Benda kesayangan, makanan kesukaan, semua ada dalam album itu. Freesia menuliskan note kecil di setiap foto. Dan yang ke sepuluh, ada foto candid Abi. Pria berumur 23 tahun itu tidak tau pasti kapan Freesia memotret dirinya yang sedang tertawa.
Abi membaca note di bawah fotonya:
Maybe, I'm too late to be your first. But right now, I'm preparing my self to be your last.
Ia tersenyum miris. Rasanya mustahil untuk membuat kata-kata itu berlaku.
Abi menutup buku itu, dan memasukannya ke dalam koper yang akan ia bawa besok. Ke Indonesia.
***
Butik besar berpamflet 'Manequeen' itu sedang ramai pengunjung. Pegawai yang berjumah sebelas orang sampai kewalahan melayani pengunjung. Tapi itu tidak menyurutkan niat Freesia untuk datang kesini, ke butik miliknya yang ia bangun dari nol.
"Eh, calon pengantin kok keluar rumah?" kata Pika, salah satu pegawai Freesia yang cukup dekat dengannya. "Calon suaminya kemana, Mbak?"
Freesia terkekeh. "Dia baru aja sampe. Kasian capek."
"Oalah."
"Gimana? Semua lancar kan?"
Pika tersenyum. "Lancar kok, Mbak. Tenang aja."
Freesia tersenyum senang. Melihat para pengunjung memburu pakaian-pakaian yang ada di butiknya dan didesign-nya sendiri.
"Freesia, lo ngapain? Ya ampun! Lo kan lagi di pingit!" suara cempreng Ina membuat Freesia mendengus.
Freesia memutar kedua bola matanya. Berjalan keluar, lalu duduk kursi yang letaknya persis di depan butik milikinya. "Gue bosen di rumah terus."
Ina membuntuti sahabatnya. Ikut duduk bersebelahan dengan gadis yang kini memakai dress selutut berwarna tosca. Ina bahkan tidak pernah membayangkan bahwa sahabatnya itu akan berubah menjadi sosok gadis yang anggun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh And Pain
Teen FictionKarena kabur dari hukuman yang diberikan guru matematika killer itu, Freesia tidak sengaja bertemu dengan Abi. Sejak saat itu, keduanya menjadi sering bertemu dan semakin dekat. Freesia menganggap Abi sebagai teman yang baik dan asik. Ya, hanya seba...