DUA TAHUN SETELAH KEPERGIANNYA...
Ternyata, jadi cewek kampus selama ini tidak seindah bayangan Freesia. Buktinya, setiap hari ada aja tugas yang harus dia kerjakan. Freesia yang sekarang sungguh berbeda dari yang dulu. Cewek itu kini menjadi mahasiswi di jurusan design dengan tugas yang super banyak. Semasa SMA dulu, dia sering bolos pas jam pelajaran. Sekarang tidak lagi. Dia mungkin sekarang jadi salah satu mahasiswi paling rajin.
Penampilannya pun kini berubah drastis. Yang dulunya tidak peduli sama yang namanya fashion, sekarang malah mengikuti. Yang dulunya lebih sering pakai jeans belel sama kaus longgar, sekarang berganti jadi blous keren atau skirt yang indah. Kaki jenjangnya yang dulu selalu dihiasi sneakers kini berganti menjadi flatshoes nan anggun.
"Freesia!"
Suara cempreng itu memekakan telinga Freesia. Dia Ina, sahabat Freesia sejak di bangku SMA. Cewek paling bisa bikin senang dan kesal disaat bersamaan. Ina adalah mahasiswi di jurusan psikolog yang paling santai. Tidak banyak yang berubah dari penampilannya. Hanya saja, Ina yang sekarang memiliki seorang kekasih.
Namanya Denis, sahabat mereka sekaligus tetangga Freesia hingga sekarang. Cowok itu juga satu jurusan dengan Ina. Freesia tidak tau apa yang membuat mereka berdua jadian, tapi yang jelas, keromantisan keduanya membuat ia iri.
Freesia yang baru saja keluar dari kelasnya menghampiri Ina. "Apaan?"
"Sore ini, lo sibuk nggak?"
Freesia mengingat-ingat kembali kegiatannya sore ini. "Nggak ada, kenapa?"
"Double date, yuk?" tanyanya antusias. "Lo sama Herdi, bisa kan?"
Cewek itu menggidikkan kedua bahunya. "Coba nanti gue tanya dulu."
"Oke!"
***
Menurut Freesia, hidup itu seperti mengendarai mobil. Tidak selamanya kita berada di tempat yang sama. Terus berjalan maju ke tempat yang kita tuju; meski tidak tau apa itu. Kalau tidak sampai ke tujuan, paling-paling berhenti di tengah jalan karena mogok. Dan saat itulah kemampuan kita diuji. Memilih diam sampai menunggu keajaiban, atau melanjutkan maju dengan berlari diatas kaki kita sendiri.
Pesanan mereka datang. Dua orang pelayan perempuan dengan seragam hitam putih itu menjajakan makanan di atas meja bernomer '3' itu. Suguhan musik slow dari band yang sedang tampil di panggung kecil depan sana menambah kesan romantik pada dinner kali ini.
Ina, Denis, Freesia, dan Herdi duduk berhadapan di meja bundar berbahan kayu jepara ini. sebuah lilin putih yang menyala menjadi penerang di tengah-tengah mereka.
"Jadi, kapan nih kalian berdua jadian?" tanya Denis. Melahap sepotong daging dengan garpunya.
Herdi dan Freesia saling tatap, lalu mengangkat kedua bahu.
"Iya nih, biar kaya kita. Iya nggak Den?" timpal Ina.
Acara makan malam berlangsung seru. semua itu karena ulah Ina dan Denis yang paling bisa mencairkan suasana. Melihat keduanya dan Herdi, membuat Freesia kembali dihantui baying-bayang Abi.
Freesia tidak menampik bahwa ia juga mencintai Abi. Tapi sekarang keadaannya berbeda. Sekarang ada Herdi. Sosok pria dewasa yang selalu ada di sampingnya kapanpun ia butuh. Yang selalu menjadi obat setiap kali dirinya merasa kacau.
***
Freesia menatap pantulan dirinya di depan cermin besar yang ada di kamarnya. Setelah kejadian di mobil Herdi tadi, Freesia jadi banyak melamun. Untuk yang kesekian kalinya, cewek itu bingung dengan perasaannya.
Pajero sport hitam milik Herdi berhenti tepat di depan rumah gadis itu. Setelah mengucapkan terima kasih, Freesia membuka seatbelt dan hendak membuka pintu mobil. Sebuah tangan kekar berhasil menahannya. Freesia menatap cowok dengan kemeja putih itu bingung.
"Aku jadi kepikiran sama omongan Ina," kata Herdi. Suaranya lembut seperti sutra.
Freesia tidak menjawab apa-apa. Ia hanya memperhatikan wajah laki-laki di hadapannya dengan serius. Herdi merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah. Cowok itu menarik napas dalam-dalam.
"Freesia, aku emang nggak mau kamu jadi pacar aku," ucapnya. "Tapi aku mau kamu jadi istri aku."
Freesia ternganga. Ia terkejut bukan main. Laki-laki dihadapannya tersenyum tulus sambil memperlihatkan isi kotak itu. Cincin. "Freesia Edelweiss, would you be my forever?"
Gadis itu tidak menjawab. Karena nyatanya, separuh hatinya masih dibawa pergi oleh orang yang sudah dua tahun manantikan jawabannya.
Freesia mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia meraih ponselnya. Menscroll kontak di HPnya. Di jajaran kontak huruf A, yang berada di baris paling awal adalah Abi. Ia mendapat nomor baru Abi dari Denis. Dengan ragu-ragu, cewek itu memencet tombol 'call'. Sempat beberapa menit ia diam memandangi ponselnya, sampai akhirnya memutuskan untuk menghubungi cowok itu.
Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, silahkan hubungi beberapa saat lagi.
Selalu, selalu seperti ini. tidak pernah ada jawaban tiap kali dirinya mencoba untuk menghubungi Abi. Seberapa sibukkah cowok itu?
Freesia mencoba menghubungi Abi puluhan kali, tetap tidak ada jawaban. Ia kesal. Lalu mencari kontak Herdi dan meneleponnya. "Halo..."
***
Setelah ini akan ada epilog. Stay tune!
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh And Pain
Teen FictionKarena kabur dari hukuman yang diberikan guru matematika killer itu, Freesia tidak sengaja bertemu dengan Abi. Sejak saat itu, keduanya menjadi sering bertemu dan semakin dekat. Freesia menganggap Abi sebagai teman yang baik dan asik. Ya, hanya seba...