Lag lagi jumat. Entah harus senang atau sedih, karena sekarang ia harus datang ke studio. Itu artinya, mau tidak mau Freesia harus berhadapan dengan Rei.
Dirinya sudah sampai di tempat tersebut ketika gerimis sore ini turun. Tidak begitu deras, tapi cukup membuat tubuh basah.
Tak mau banyak basa basi, Freesia buru-buru masuk ke dalam studio siarannya. Ia berbicara panjang lebar di sana. Memutar beberapa lagu yang sudah direquest ke twitter. Freesia heran, setiap ada yang request untuk diputarkan lagu, pasti lagu galau tentang putus cinta dan semacamnya.
***
19.00 WIB
Setelah selesai dari tugasnya, Freesia keluar dari ruang siaran. Semua orang yang sedang mondar-mandir di lantai dua tempat ini menyapa Freesia dan menanyakan kenapa sabtu kemarin tidak datang. Freesia beralasan bahwa dirinya sakit. Lagipula, buat apa ia menceritakan yang sebenarnya? Yang ada malah dijadikan bahan tertawaan.
Kaki jenjangnya menuruni tangga melingkar yang menghubungkan dengan lantai satu. Dan sialnya, kemungkinan besar ia akan menemui Rei di sini.
"Hai, Ya!" Tiba-tiba Rei muncul di hadapannya ketika Freesia sudah persis berada di lantai satu.
Freesia tersenyum ragu. "H-hai."
Sejujurnya, ia masih saja berdebar ketika di dekat Rei, sama seperti sebelum ia mengetahui bahwa Rei sudah mempunyai tunangan.
"Udah selesai?" Rei tersenyum.
Ah, senyuman itu lagi. Mau kesal atau tidak, Freesia selalu suka dengan senyum cowok itu. Ia tidak pernah punya alasan untuk membencinya. "Udah, kok," balasnya.
"Omong-omong, ujian nasional lo kapan?" Tanya Rei disela-sela berjalan menuju sofa merah maroon yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri tadi.
Freesia menyusul. Ia mendudukan tubuhnya di sofa empuk itu. Di samping Rei, tepatnya. "Satu minggu lagi."
"Kalo gitu, lo boleh break dulu aja. Sampai semuanya selesai," pekiknya, masih disertai senyuman. Freesia mengangguk paham.
"Oh iya-" ucapannya menggantung. Tangan Rei masuk ke dalan ranselnya dan mulai mencari-cari sesuatu. Air mukanya berubah saat tangannya berhasil mendapatkan benda itu. "Buat lo. Yang satu lagi tolong kasih ke Ina, ya."
Rei menyerahkan dua kertas berbahan tebal. Kertas itu sungguh indah dengan perpaduan warna merah muda dan putih. Di halaman pertama terdapat pita-pita kecil yang menonjol. Awalnya Freesia tampak biasa aja. Tapi begitu kertas tersebut sudah ada di tangannya dan membaca tulisan besar yang tertera dengan jelas di sana, ia cukup terkejut. Ralat, sangat terkejut.
Rei Alindra
&
Martha MargarethaRabu, 14 april 2015
Pukul 15.00 s/d selesai
Ballrom hotel Ganesha, Jakarta Selatan.Dan masih banyak tulisan-tulisan yang membuat Freesia pusing. Tunggu-ini...
UNDANGAN PERNIKAHAN?
Seseorang tolong berikan sekantung udara untuk Freesia sekarang juga. Tubuhnya seketika lemas. Jutaan volt listrik seakan menyengat tubuh payahnya itu.
Freesia tidak berkata apa-apa. Ia memperhatikan undangan itu lamat-lamat.
"Fey, soal yang waktu itu-"
"Nggak usah dibahas lagi. Lupain aja, ya? Anggap aja gue nggak pernah ngomong kayak gitu."
"Tapi-"
"Nggak ada yang diomongin lagi, kan? Udah malem, gue harus pulang," Freesia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar. "Nanti gue sampein ke Ina, OK?"
Rei mengekori Freesia sampai ke luar gedung.
"Mau gue anter?" Tanya Rei lagi. Ia menahan langkah Freesia dengan mengamit lengan gadis itu.
"Nggak usah. Gue bisa sendiri, kok," jawabnya dengan nada selembut mungkin.
Matanya fokus dengan keramaian Ibukota. Mencari taksi tidak berpenumpang yang bisa membawanya pulang. 5 menit... 10 menit... Belum ada juga taksi kosong yang lewat.
"Freesia, gue minta maaf," ucap Rei. Freesia membalikan badannya dan menatap cowok yang berdiri lima langkah darinya.
"Buat?" Kening Freesia berkerut.
"Semuanya," balas Rei.
"Nggak perlu minta maaf, kok. Lo nggak salah apa-apa. Justru gue yang salah," Freesia masih dengan senyumnya. Kali ini justru kening Rei yang berkerut. "Salahnya karena gue udah terlalu percaya sama lo."
Bertepatan dengan itu, taksi melintas di hadapannya. Freesia buru-buru menstopkan taksi itu dan membuka pintunya.
"Duluan ya." Freesia masuk ke dalam taksi dan menutupnya rapat-rapat. Menyisakan Rei yang masih bergeming di tempatnya tadi.
Malam tersulit.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh And Pain
Teen FictionKarena kabur dari hukuman yang diberikan guru matematika killer itu, Freesia tidak sengaja bertemu dengan Abi. Sejak saat itu, keduanya menjadi sering bertemu dan semakin dekat. Freesia menganggap Abi sebagai teman yang baik dan asik. Ya, hanya seba...