Seperti janjinya tadi, Abi menjemput Freesia di sekolahnya untuk pulang bersama. Cewek itu menunggu di depan gerbang ketika Abi datang. Tetapi, bukannya langsung diantar ke rumah, Freesia justru di ajak ke taman kota yang jaraknya tidak begitu jauh dari sekolah. Oh, tentu saja gadis itu tidak menolak dan malah meng-iya-kannya dengan senang hati.
Suasana taman kota sore itu terbilang ramai. Seperti hari-hari kemarin, taman ini tampak sejuk dan asri. Sebenarnya Freesia dan Ina juga sering kesini, dulu.
Sambil menemani Freesia membeli es krim, Abi menceritakan kejadian di kelas tadi kepada Freesia. Bukannya turut prihatin, cewek itu malah mentertawakannya dan mencibir Abi. "Kalo gue jadi lo, gue nggak akan ngelakuin hal sebodoh itu, Bi," celetuk Freesia, seraya meraih es krim cokelatnya dari penjual.
"Makasih," ucapnya ramah kepada pedagang es krim tersebut.
Freesia berjalan di atas rumput taman yang hijau. Abi mengikuti Dan mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu. "Gue bener-bener stuck, Del. Lo kan tau gue nggak ahli dalam pelajaran itu," ucap Abi di sela-sela langkahnya.
Freesia duduk di bangku taman yang bercat putih. Dirinya masih sibuk dengan es krim di tangan kanannya.
"Del?"
Freesia menoleh. "Iya?"
"Lo beneran suka sama... Rei?" Tanya Abi terbata-bata. Ia menghembuskan nafasnya yang tanpa sadar ia tahan sejak tadi.
Freesia menurunkan es krim cokelatnya, lalu menatap Abi intens, kemudian menggidikkan kedua bahunya. "Lebih... Mungkin."
"Ehm..."
"Emangnya kenapa, sih?" Tanya gadis itu disertai kekehan kecil. "Oh, I see. Lo jealous ya? Ngaku!"
Abi memutar kedua bola matanya. "Nggak usah ke-PDan, deh!"
Tawa Freesia berderai. Tanpa sadar, Abi, cowok itu juga tertawa melihat gadis di sampingnya tertawa.
"Menurut lo, kalo gue nyatain perasaan ke Rei, gimana?
Abi terbelalak. "Apa, apa?"
Freesia mendengus. "Menurut lo, kalo gue nyatain perasaan ke Rei, gimana?" Gadis itu memperlambat ucapannya.
"Tapi, Del, lo kan perempu-"
"Ya ampun, Bi. Ini 2015. Udah nggak jaman tuh yang namanya mendem perasaan."
"Emang lo berani?"
"Ng... Gak juga, sih," pekik Freesia. "Makannya lo bantuin gue ya?"
Dengan berat hati, Abi mengangguk.
***
Setelan kaus putih polos dan celana longgar selutut telah melekat di tubuhnya yang sudah bersih. Dengan membawa segelas kopi susu panas, Abi masuk ke dalam kamarnya dan menonton acara komedi kesukaannya di televisi.
Selagi iklan berlangsung, cowok itu mengetikkan pesan untuk salah satu teman dekatnya, Denis.
Abi : Dennnn
Satu menit, dua menit, Denis belum juga menjawab pesannya. Abi berkali-kali melirik ke arah ponsel yang ia letakan di samping kakinya. Tak lama kemudian, Denis membalas.
Denis : apaan
Abi : galau
Denis : Bi... Lo sehat kan?
Abi : alhamdulilah
Denis : kok gue jijik ya pas lo bilang 'galau'
Abi : gue ngetik, bego
Denis : ahhh bodo amat, terserah. Ada apaan sih?
Abi : Freesia mau nembak Rei
Denis : serius lu?!
Abi : bukan nembak sih. Tapi nyatain perasaan
Denis : sama aja kali
Abi : beda lah! Mana dia minta bantuan lagi. Gue harus gimana?
Memang, di antara yang lainnya, hanya Denis yang mengetahui kalau Abi menyukai Freesia.
Denis : ya biarin aja lah. Itu kan hak dia
Abi : lo kan tau, gue suka dia, Den. Apa lo bakal rela kalo seandainya lo ada ada di posisi gue?
Denis : ya nggak juga
Abi : tuh kan
Denis : tapi kalo misalkan gue jadi lo, gue bakal mikir. Gue ini siapa sih? Cuma orang asing yang nggak sengaja masuk di kehidupannya dia.
Abi sengaja tidak membalas pesan terakhir Denis. Alisnya menyerit memikirkan kata-kata temannya itu.
***
Lagi, chapter ini juga sangat pendek. Tapi, yah, semoga ada yang mau baca. Karena chapter ini mempengaruhi alur cerita.
- VV
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh And Pain
Teen FictionKarena kabur dari hukuman yang diberikan guru matematika killer itu, Freesia tidak sengaja bertemu dengan Abi. Sejak saat itu, keduanya menjadi sering bertemu dan semakin dekat. Freesia menganggap Abi sebagai teman yang baik dan asik. Ya, hanya seba...