26 | Over and Done

2.3K 154 0
                                    

'kriiingggg'

Alarm berbunyi dengan nyaring di dekat telinga Freesia. Tapi bukannya bangun, ia justru mengambil alarm itu dan mematikannya. Beberapa detik setelah itu, alarm berbunyi lagi, sama kencang seperti sebelumnya. Ia menyipitkan matanya yang masih mengantuk. Melirik deretan angka yang tertera pada alarm tersebut kemudian mematikannya.

Ah, baru jam delap-apa?!

Dengan gerakan secepat kilat, ia menyambar handuk miliknya yang tergantung di dekat pintu, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi.

Freesia kesal sekaligus menyesal. Kenapa ia harus telat bangun di hari yang penting seperti ini. penting? Jelas. Karena hari ini, bisa jadi hari terakhir Freesia bertemu Abi. Cowok itu akan pergi ke Jerman untuk melanjutkan pendidikannya di bidang teknik mesin. Sejujurnya, Abi juga tidak yakin dengan kemampuannya di bidang itu. Tapi karena ayahnya memaksa, apa boleh buat.

Hanya butuh lima belas menit untuk Freesia mandi dan memakai pakaian. Ia menguncir rambut panjagnya denga nasal, menyisakan anak rambut yang tidak terikat. Tas selempang yang ia pakai tempo hari lalu ia sambar dan digantungkan di bahunya. Flatshoes berwarna navy ia pakai secepat kilat. Lupakan soal flatshoes. Karena sesungguhnya, ia amat sangat jarang memakai alas kaki jenis itu. Tapi berhubung ia sedang buru-buru, Freesia memilih cara yang cepat saja.

Baru saja ia ingin membuka pintu kamar, pandangannya teralihkan oleh benda berbentuk persegi panjang dengan sampul warna hitam. Bentuknya mirip seperti gabungan dengan diary dan album foto. Tanpa pikir panjang, Freesia memasukan benda itu ke dalam tasnya, lalu pergi ke bandara untuk menyusul Abi.

***

"Ina, Freesia nggak bareng sama lo?" Ina langsung dihadiahi pertanyaan semacam itu saat dirinya baru menampakan diri di hadapan Abi dan kawan-kawannya.

Ina menggeleng. "Gue kira dia udah duluan. Soalnya gue telepon sama sms nggka ada yang di jawab," balasnya.

Lima belas menit lagi pesawat yang akan membawa Abi ke Jerman akan take off. Cowok itu gelisah. Ia mondar-mandir karena khawatir tidak bisa bertemu Freesia. Rana yang melihat kakaknya hanya mendengus.

Sudah berkali-kali cowok itu mengirim pesan dan menelpon, tapi tidak ada jawaban apapun dari Freesia. Apa cewek itu telat? Atau parahnya, ia marah?

"ABI!"

Suara yang familiar di telinganya itu terdengar. Lantas, Abi menoleh. Menatap sesosok Freesia yang berjarak dua meter di hadapannya. Abi mendekat. Wajah gadis itu penuh dengan keringat bercucuran. Napasnya tersenggal-senggal, seperti habis lari maraton yang jauhnya puluhan kilometer. Tangan Abi menyeka keringan Freesia dengan sapu tangannya.

"Boleh peluk?" tanya Freesia polos.

Abi mengangguk, dan langsung membawa Freesia ke dalam dekapannya. Cukup satu menit untuk mereka berpelukan. Freesia mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya. Buku-atau lebih menyerupai album-bersampul hitam diberikan kepada Abi.

"Apa?" Abi mengangkat sebelah alisnya.

"Kenang-kenangan. Biar kayak orang-orang gitu."

Abi memegang buku itu. Tersenyum seraya menatap mata Freesia yang sayu, seperti kurang tidur.

Suara pengumuman untuk keberangkatan Jakarta-Jerman terdengar. Petugas bandara bilang bahwa seluruh penumpang bersiap-siap karena pesawat akan berangkat. Abi menyiapkan kopernya dan memasukan buku album itu. Dia memeluk keluarga dan juga sahabatnya, lalu kembali dengan Freesia.

"Jawabannya?"

Freesia mengigit bibir bawahnya. "G-gue nggak bisa jawab sekarang, Bi," katanya ragu. "Gini, kita liat setelah lo kembali. Saat itu, kalau kita masih sama-sama sendiri, berarti jawabanya 'iya', dan begitu sebaliknya. Gue pengen tau seberapa lama lo bisa mempertahankan perasaan lo buat gue."

Abi tersenyum simpul. Sorot matanya memancarkan rasa kecewe yang mendalam. Untuk tau berapa lama ia bisa mempertahankan perasaannya? Cih, harusnya Abi yang bertanya begitu pada Freesia.

"Ma, Pa, Ran," cowok itu melirik orang tua dan adiknya. "Aku pergi."

"Den, No, Lang, Ndre, Del, Na, gue pamit. Doain gue ya!"

Kakinya berjalan dengan susah payah. Setengah hatinya masih berat meninggalkan semua yang ada di sini. Ia pergi jauh, untuk waktu yang lama. Dan beratnya lagi, perasaannya digantungkan oleh gadis yang dicintainya sendiri.

Hatinya bertanya-tanya, apa yang ada dipikiran Freesia? Kenapa cewek itu harus memberinya harapan? Kalau tidak mau, kenapa dia tidak langsung menolak dan membiarkan Abi bertanya-tanya dengan hatinya sendiri? Nyatanya, ia tidak akan pernah mendapatkan jawabannya.

Semuanya membingungkan.

***

Haeeee gaes!

Kabar gembira, cerita ini akan tamat beberapa part lagi. Dan udah selesai gue ketik sampe epilog. Wohooooo!❤

Laugh And PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang