Pandangan Freesia dan Ina fokus pada sesuatu yang menjadi pusat dari ruangan ini. Ya, itu Rei dan Martha. Freesia akui, Martha tampak cantik dengan balutan gaun putih yang menjuntai ke bawah. Dadanya penuh sesak. Seakan-akan ia lupa bagaimana caranya untuk bernapas.
Ketiganya menghampiri pelataran tempat Rei dan Marha berada. Freesia, Ina, dan Abi harus rela mengantre hanya untuk menyalami sang pengantin karena banyaknya tamu undangan.
"Normal, okay," Abi berbisik di telinga Freesia. Memberi kode pada gadis itu untuk bersikap tenang, dan menahan sakit hatinya dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit.
Freesia mengangguk ragu seraya menarik napas dalam-dalam.
Antrean di depan mereka mulai habis. Kini, Ina yang memang antre paling depan berkesempatan untuk salaman dengan Rei dan Martha lebih dulu.
"Selamat ya, Rei," ucap Ina pada Rei. Entah disengaja atau tidak, gadis itu melewati Martha yang saat ini memasang wajah sebal.
Martha mengerucutkan bibirnya dan menatap Ina dengan tajam. Ia mengumpat habis-habisan. Di hari pernikahannya, teman suaminya justru tidak memberi selamat bahkan untuk sekedar menyalaminya. Menyebalkan.
"Iya, Ina, makasih," jawab Rei dengan senyuman tulus. Ina dibuat meleleh olehnya.
"Selamat!" Oh, ini tidak begitu buruk. Akhirnya Ina menyalami Martha walaupun tadi sempat melewatkannya. Ia menjabat tangan wanita itu dengan kasar, tanpa senyuman sedikitpun.
"Makasih!" Martha tersenyum terpaksa. Sesungguhnya, ia juga tidak mau memberi senyumannya pada Ina yang telah membuatnya kesal.
Kini giliran Freesia, iya menyalami Martha dengan senyuman. Tapi ada kilatan-kilatan asing di matanya. Seperti ada sesuatu yang memaksa keluar.
"Selamat ya, Martha." Freesia menjabat tangan Martha dengan kedua tangannya. Matanya menatap bola mata pengantin wanita itu. Tangannya dingin seperti es. Bahkan, Martha bisa merasakannya.
"Makasih, Frizea?" Jawab Martha, salah menyebut nama gadis itu.
Freesia melepaskan jabatannya, lalu tersenyum simpul. "Freesia," katanya mengoreksi ucapan Martha.
Ia maju satu langkah. Di depannya sudah ada Rei yang menggunakan jas pernikahan. Ia bersumpah demi apapun, Rei terlihat sangat sangat tampan. Senyumnya mengembang. Tentu saja bukan senyum bahagia, melainkan senyum kepatah-hatian dengan mata yang sayu. "Selamat, Rei," Freesia menjabat tangan pria itu. "Semoga bahagia, ya."
"Makasih, Ya, semangat juga buat ujiannya." Rei menepuk bahu Freesia.
Freesia mengangguk.
Abi maju dan menjabat tangan Martha, lalu melepaskannya beberapa detik kemudian. "Selamat ya," ucapnya. "Marthabak." Nada bicaranya sengaja ia pelankan. Oh, tentu saja Abi tidak ingin ada aksi adu jotos atau sejenisnya di pesta pernikahan ini. Tapi, meskipun pelan, Martha masih bisa mendengar itu samar-samar. Sontak, ia melotot ke arah Abi.
"Selamat, bro!" Abimenyalami Rei.
Sesi foto bersama dimulai. Mereka foto bersama dengan formasi Abi, Freesia, Rei, Martha, dan Ina, jika dilihat dari kiri. Dalam hati Ina mengumpat. Kalau bukan karena photographer yang menyuruh, ia juga tidak sudi berada di samping wanita itu.
***
Waktu sudah hampir larut. Dan ini adalah salah satu adegan yang Freesia benci dari setiap momen Rei-Martha. Kedua pasangan bahagia itu kini sedang bersuap-suapan kue. Setelah selesai, keduanya berciuman sekilas. Ruangan ini penuh dengan tepuk tangan dan sorak sorai para tamu. Freesia berbalik badan lalu berjalan pelan. Setelah dirasa sudah menjauh dari kerumunan orang, Freesia berlari sekuat tenaga, menjauhi para manusia-manusia itu dan memisahkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh And Pain
Teen FictionKarena kabur dari hukuman yang diberikan guru matematika killer itu, Freesia tidak sengaja bertemu dengan Abi. Sejak saat itu, keduanya menjadi sering bertemu dan semakin dekat. Freesia menganggap Abi sebagai teman yang baik dan asik. Ya, hanya seba...