Akhir-akhir ini Freesia sibuk mencari universitas untuk lanjutan pendidikannya. Teman-temannya juga begitu. Ina, misalnya. Saat ini, cewek feminine itu sedang berada di rumah Freesia, lebih tepatnya di kamar. Mereka berdua sibuk browsing di laptop milik Freesia. Sementara Freesia sibuk membaca artikel di salah satu website, tangan Ina mencomot snack dengan bungkus super besar di sampingnya.
"Makan mulu lo," olok Freesia, saat memergoki Ina sedang memasukan banyak snack ke dalam mulutnya.
Ina mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya sambil bergumam, "Biarin, itung-itung perbaikan gizi setelah menghadapi UN kemarin."
"Hiperbola as usual," ucap Freesia sarkastik.
Telunjuk Freesia menari-nari di atas keyboard laptopnya. Mengetik kata kunci untuk pencarian selanjutnya.
"Minjem HP dong, Ya, bete nih." Ina menopang dagunya dengan kedu tangan.
Freesia mendecak. "Tuh, di samping bantal."
Ina mengambil ponsel Freesia di samping bantal, sesuai petunjuk gadis itu. Setelah mengetikan password-yang untungnya Ina tau dan belum diganti, cewek itu membuka applikasi kamera dan berfoto ria dengan menggunakan kamera depan. Sudah hampir lima puluh foto selfie Ina yang memenuhi camera roll Freesia. Sang empu hanya menatap sahabatnya sekilas sambil menggeleng-geleng.
Belum sempat Ina menekan tombol capture, ponsel Freesia bergetar hebat. Tanpa ragu-ragu, ia memeriksa notifikasi itu yang ternyata Line dari Abi.
"Ya, Abi ngajakin ketemuan nih, besok." Ina menunjukan pesan yang Abi kirim kepada sahabatnya. Freesia berdecih.
"Nggak usah dibales," katanya.
Ina menatap Freesia penuh selidik. "Lo-"
"Nggak ada apa-apa," jawab Freesia cepat, seolah mengerti maksud dari tatapan cewek di hadapannya saat ini.
"Oh iya, Ya, besok kan ada graduate party di sekolah kita. Terus Abi gimana?"
"Ck, pulangnya kan bisa."
"Iya juga ya."
***
Dress hitam selutut menghiasi tubuh proposional Freesia. Kali ini, SMA N 17 mengusung tema black and white untuk acara graduate party angkatan tahun ini. Sudah lebih dari satu jam Ina dan Freesia berada di lokasi acara ini, yang tak lain adalah gedung sekolah itu sendiri.
Hari sudah hampir larut. Penghujung acara akan dimulai beberapa menit lagi. Freesia amat sangat tidak tertarik dengan itu semua. Ia memilih mengasingkan diri sambil menikmati segelas minuman rasa chocopandan.
Ia melirik alroji berwarna silvernya yang melekat di pergelangan tangan kirinya. Sebentar lagi jam sembilan, itu artinya ia harus menemui Abi di taman kota yang letaknya tidak jauh dari SMA N 17. Ia menoleh ke belakang, menatap Ina yang masih asik berbincang dengan temannya yang lain. Freesia mendesah. Ia membetulkan slingbag hitamnya sekilas, lalu bergegas.
Suasana taman kota malam ini terbilang sangat sepi. Tidak ada orang kecuali dirinya-dan Abi. Penerangannya pun hanya dari lampu taman yang samar-samar. Freesia mendekati seseorang dengan hoodie berwarna abu-abu yang duduk membelakanginya.
Freesia menepuk bahu pria itu. "Abi?"
Orang itu menoleh. Dan benar, dia Abi. Freesia buru-buru duduk di samping cowok itu, kemudian melihat penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hoodie, jeans, dan sneakers?!
"Kok lo nggak rapih? Setau gue, Denis bilang kalo ada graduate party juga di sekolah lo." Freesia menyeritkan keningnya.
"Gue nggak ikut," jawab Abi datar.
"Bi, lo kenapa sih?" Freesia yang menyadari perubahan sikap Abi lantas bertanya. Ada apa dengan cowok ini? Benar-benar bukan seperti Abi yang biasanya.
Abi tidak menjawab. Cowok itu menatap lurus ke depan.
Freesia mulai kesal. "Bi, jangan aneh, dong. Kemarin lo sendiri yang minta gue untuk nggak ngejauh dan nggak cuek sama lo. Tapi lo sendiri malah kayak gi-"
"Gue kuliah di Jerman," kata Abi tiba-tiba.
"Hah-Apa?!" Freesia ternganga. "Ahahaha."
Bukannya sedih, cewek itu malah tertawa terbahak-bahak. Abi kebingungan menatap tingkah aneh gebetannya itu. Padahal tidak ada hal yang lucu sama sekali
"Hahaha, aduh gue sakit perut." Freesia menyudahi acara tertawanya itu. Ia mengaduh sambil memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa begitu keras.
"Del, gue serius. Malam ini gue nggak ikut graduate party karena harus ngurus kepindahan gue. Gue akan tinggal di sana kurang lebih sampai lulus."
Freesia menyipitkan matanya. Mencerna kata-kata Abi barusan di otaknya.
"Gue udah nyatain perasaan gue ke elo. Lo masih punya waktu tiga hari dari sekarang untuk jawab. Gue nggak maksa, itu semua terserah lo," lanjutnya.
"Tapi kenapa? Kenapa harus pindah sejauh itu?" Freesia gelagapan.
Abi menghela napas. "Bokap gue pengen banget gue kuliah di sana, Del."
Freesia bungkam. Ia menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Di saat ia merasa patah hati karena Rei, Abi datang. Membuat ia lupa dan lukanya terobati. Tapi saat Rei sudah menghilang di telan bumi, Abi juga akan ikut-ikutan menghilang. Dan sekarang, saat ia mendengar bahwa Abi akan pindah ke Jerman untuk melanjutkan pendidikannya, tubuh Freesia seakan dihantam palu godam yang besar. Cukup satu. Cukup Rei yang pergi.
"So, this is our last meet?" Tanya Freesia lirih.
Abi menggeleng. "Kita masih bisa ketemu. Tiga hari sebelum keberangkatan gue."
Seseorang, tolong berikan Freesia tabung oksigen yang paling besar. Ia kesulitan bernapas saat ini.
'Bruk'
Abi membawa Freesia ke dalam pelukannya. Mendekapnya dengan erat, seolah-olah besok mereka akan mati. "Biarin kayak gini, sebentar aja," bisik cowok itu.
***
Maaf kalau feel nya nggak dapet karena ngetiknya lagi ngantuk parah.
Maaf juga kalau banyak typo karena sebagian ngetik di laptop, sebagian di handp-Zz... zZzz... ZzzZz.. zZz
.........
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh And Pain
Teen FictionKarena kabur dari hukuman yang diberikan guru matematika killer itu, Freesia tidak sengaja bertemu dengan Abi. Sejak saat itu, keduanya menjadi sering bertemu dan semakin dekat. Freesia menganggap Abi sebagai teman yang baik dan asik. Ya, hanya seba...