Enam hari lagi ujian nasional akan berlangsung. Murid kelas dua belas disibukan dengan kegiatan pendalaman materi atau pelajaran tambahan lainnya. Dan tepat lima belas menit lalu, para siswa-siswi baru saja selesai mengikuti pendalaman materi. Sekarang mereka bisa istirahat sejenak sambil makan atau minum.
Seperti biasa, Freesia enggan menapakkan kakinya di kantin. Ia fokus dengan buku biologi yang tebalnya beratur-ratus halaman itu. Jujur, ia masih memikirkan kejadian semalam. Tapi ia juga harus memikirkan nilai ujiannya, yaitu menyibukan diri dengan belajar.
Dirinya larut dalam jajaran paragraf di buku itu. Bab yang sedang ia baca adalah materi tentang sistem organ manusia. Perlu diketahui, Freesia lebih memilih menghapal nama-nama organ maupun nama-nama ilmiah, ketimbang harus menghitung rumus yang membuatnya pusing setengah mati.
Sesaat kemudian, Ina datang. Cewek dengan bando merah di kepalanya itu langsung duduk di kursi sebelah Freesia. "Freesia?" panggilnya.
Freesia tidak menjawab. Jangankan menjawab, menoleh saja tidak. Ia malah asik membaca seraya membolak-balik kertas buku itu.
"Freesia, ih!" Ina menepuk lengan Freesia kesal.
Mau tidak mau, Freesia menandai buku itu dengan melipat kertas salah satu halaman dan menutupnya. Matanya melirik Ina dengan datar. "Apa?"
"Lo kemarin kemana?" tanyanya penasaran. "Kata Abi, lo pulang duluan karena sakit, bener?"
Freesia mendelik. Abi berkata bahwa dirinya sakit? Hahaha. Rasanya Freesia ingin tertawa sekencang-kencangnya sekarang juga.
Tanpa aba-aba, Ina menempelkan punggung tangannya pada dahi Freesia. "Nggak panas," katanya setelah memeriksa suhu tubuh Freesia.
"Gue nggak apa-apa," pekik Freesia. "Lo ke kantin aja sana, gue mau belajar."
Ina mendecak lalu bangkit dari kursinya, menghasilkan suara decitan kecil. "Belajar nggak belajar ujung-ujungnya nyontek juga," ledek Ina.
Mendengar kalimat menyebalkan itu, dengan sigap Freesia menimpuk sahabatnya dengan tip-ex yang masih penuh. Ina meringis lalu melengos pergi.
Fisik gue emang nggak sakit, tapi hati gue yang sakit.
***
"Kemarin gimana?" Denis menyenggol bahu Abi dengan sengaja.
"Apanya?" Abi yang asik bermain PSP hanya menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari benda kecil digenggamannya.
"Ck, itu loh, pestanya Rei."
Mendengar kata pestanya Rei, Abi langsung teringat dengan Freesia. Dengan tangisannya yang terdengar amat memilukan tadi malam. Setelah kejadian semalam, Abi belum mencoba untuk menghubungi Freesia. Ia takut itu malah akan memperburuk keadaan.
"Ya nggak gimana-gimana," jawabnya malas.
"Nggak asik lo!" Denis meninju bahu Abi, membuat cowok itu mengusap-usap bagian bahunya yang terasa nyeri, dan memasang wajah sebal
Abi tidak melakukan serangan balik seperti biasanya. Cowok itu kembali fokus memainkan game Mario Bross di PSP jadul kesayangannya. Entah ini hanya perasaan Denis saja atau tidak, tapi Denis merasa kalau hari ini Abi lebih banyak diam. Tidak seperti biasa, yang selalu antusias dan menggebu-gebu setiap kali pergi dengan Freesia.
"Gue berantem," katanya setelah hening beberapa menit yang lalu.
Denis terkesiap mendengar ucapan singkat Abi. Ia membetulkan posisi duduknya agar bisa mendengar cerita Abi dengan jelas. "S-serius?" balasnya masih tidak percaya. "Kok bisa?"
"Ya bisa, lah!" Abi geram.
Denis semakin penasaran. Oh, itu tampak jelas dari raut wajahnya. "Ceritain dong!"
"Jadi gini..." memang benar, sepertinya ia harus menceritakan ini kepada Denis sahabatnya. Karena Abi tau, Denis juga kenal dengan Freesia sejak lama, walaupun tidak begitu 'dekat'.
Abi memulai ceritanya dari bagian salam-salaman dengan pengantin, lalu berakhir sampai adegan dramatisnya dengan Freesia. Denis membelalak tidak percaya. Ia masih tidak menyangka bahwa Freesia bisa sedramatis dan secengeng itu. Padahal setau Denis, Freesia termasuk dalam kategori cewek 'pentolan' yang nggak takut sama apapun, dan tidak mudah nangis hanya karena cowok.
Satu botol air mineral yang Denis beli di kantin beberapa menit lalu kini ludes. Abi berhasil menghabiskan semuanya hanya dalam satu tegukan. Denis hanya berdecak melihat aksi orang yang menghabiskan minuman sahabatnya sendiri. Dan, sepertinya kalimat itu bagus untuk tag-line di koran.
"Ya lo minta maaf sama dia lah, Bi!" pekik Denis, seraya melihat Abi yang melempar botol plastik bekas air mineral tadi ke dalam tong sampah.
Abi menyeritkan dahinya, sehingga alisnya yang tebal itu hampir menyatu. "Tapi kan gue nggak salah?"
Denis tertawa meledek, "Kayaknya lo harus belajar banyak tentang cewek sama gue, Bi," katanya. "Harusnya dari awal lo siap, kalau lo udah berhadapan sama cewek, artinya lo harus bisa minta maaf, sekalipun lo nggak tau apa alasannya."
"Tapi-"
"Pengecut!" olok Denis.
Abi terkekeh masam, lalu meninju bahu Denis. "Sialan lo."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Laugh And Pain
Teen FictionKarena kabur dari hukuman yang diberikan guru matematika killer itu, Freesia tidak sengaja bertemu dengan Abi. Sejak saat itu, keduanya menjadi sering bertemu dan semakin dekat. Freesia menganggap Abi sebagai teman yang baik dan asik. Ya, hanya seba...