Itik Buruk Rupa

66.3K 6.4K 345
                                    

"Suit suiiiiitttt...... cantiknya..."

Satu hal yang paling dibenci Lara ketika berjalan bersama Berlian, ia serasa tenggelam di bawah pesona bidadari yang kerap menemaninya pergi. Setiap mereka berjalan berdua, seluruh mata tertuju hanya pada Berlian Suroso, anak seorang pejabat bank yang bersedia menjadi temannya. Sahabat. Lara selalu menganggap gadis itu sahabat. Tidak pernah seorang pun yang mau menjadi sahabat—bahkan teman pun tidak—sejak ia duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Seandainya Lian tidak menawarkan nilai persahabatan padanya, ia tak yakin bisa menjalani kehidupan sosial dengan mudah. Pasalnya, hanya Lian yang berani mengangkat dagu dan mengepalkan tangan demi membela sahabatnya.

"Kamu nggak risih digituin mulu?" Lara berbisik di sebelah Lian, ketika dua dara tersebut menjelajahi outlet­-outlet pakaian mewah di mall sepulang sekolah.

"Udah biasa kok."

"Kalau aku jadi kamu pasti risih."

Spontan, tawa Lian meledak. "Halah, kalau udah kebiasaan digituin pasti bosen. Nikmati ajalah."

Lian meminta Lara berhenti sejenak sekadar mencoba sepasang stiletto merah menyala yang menarik minat gadis berambut hitam legam tersebut. Menunggu Lian memeriksa dan memasangkan sepasang sepatu cantik pada kedua kaki jenjangnya, Lara tersenyum kecil, berangan-angan dapat memasang sepatu serupa di kakinya.

"Bagus, nggak?" Lian meminta pendapat Lara seraya berdiri dan berputar-putar mengamati stilettonya.

"Bagus banget."

"Aku mau pakai ini di prom nanti. Lebay nggak, sih?" Dara jelita tersebut menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Nggak kok. Kan tiap prom temen-temen pasti suka pakai outfit glamour." Bukan pertama kali itu Lian mengenakan sepatu berhak tinggi dengan warna mencolok, semeriah gaun dan dandanannya, sehingga Lara menganggap stiletto tersebut tidak mengubah apapun. Lian tetaplah Lian, yang cantik dan dipuja, bahkan saat ia bangun tidur wajahnya tetap terlihat bagaikan bidadari.

"Kamu nggak nyoba yang lain? Prom dateng, kan?"

Lara menggigit bibir bawahnya, menimbang. "Nggak tahu..."

"Aduh, jangan bilang nggak tahu dong! Dateng ya."

"Tapi—"

"Arka dateng juga loh. Bukannya kamu masih berharap bisa deketin dia?" Lian mencolek pinggang Lara, membuat gadis itu seketika memerah.

"Aku malu."

"Nggak usah malu. Kamu belajar pede makanya, kayak aku."

Kamu gampang bilang seperti itu karena kamu nggak pernah jadi aku, Lara membatin lirih.

"Pokoknya kamu dateng ya. Aku usahain Arka ngajak kamu ke prom deh. Suer."

"Beneran?"

"Iya! Ini kan tahun akhir kita. Sebelum lulus, aku pengen ngasih prom yang paling berkesan buat kamu."

Membayangkan keasyikan prom yang dijanjikan Lian mengaburkan pikiran negatif Lara. Dalam otaknya dapat ia lihat secara jelas bayangan Arka, mantan ketua MPK sekolahnya yang sangat populer dan banyak dikejar-kejar perempuan, mengajaknya hadir dalam prom kelulusan. Mengajak berdansa. Wah, pasti menjadi prom yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidup. Imajinasi indah di kepala Lara hancur dalam serobotan teriakan seorang bocah di belakangnya,

"Eh beruk jumbo, ngapain lu di sini? Nggak ada sepatu yang cocok sama kaki besar lu! Minggir!"

Ia terdorong, jatuh tersungkur menubruk rak sepatu. Sedangkan di belakang, segerombolan selebriti sekolah terbahak-bahak menertawainya.

STILETTALE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang