Malaikat dengan Sayap Patah

66.9K 5.6K 188
                                    

Entah itu gelas yang ke berapa, Dilara tidak mengingatnya. Ia hanya menekuri pemandangan kota metrapolitan Jakarta dari balik jendela apartemennya. Memikirkan berbagai hal yang sebenarnya tidak harus ia gali lagi lantaran telah terkubur bersama segala kepahitan masa lalunya. Ditenggaknya sisa wine di dalam gelas yang ia genggam erat. Buku-buku jarinya tampak memutih, pertanda bahwa cengkeramannya cukup kuat. Kelopak matanya terkatup selama beberapa detik. Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai samar. Bersamaan matanya yang terbuka, ponsel yang hampir ia lupakan di atas meja terdekat berdering. Dengan anggun wanita itu melangkah menghampiri meja, meletakkan gelasnya dan mengangkat panggilan Kartika. Wajahnya menegang. Ada kerutan sangat jelas di dahinya. Ia tak perlu menjawab panggilan asisten Widya. Yang dilakukannya adalah segera melimbai meninggalkan apartemen menuju rumah Widya.

Dalam keadaan panik, Dilara mencoba menghubungi Binar. Sial sekali gadis itu tampaknya tidak senang diganggu—ponselnya dimatikan. Ia mengumpat perlahan, membanting ponsel di atas jok mengencangkan laju mobil.

"Seharusnya hidupkan ponselmu duapuluh empat jam penuh!" ia terus menggerutu.

Ban mobil melibas jalan raya yang basah setelah disetubuhi hujan beberapa waktu lalu. Hawa dingin menyelesak di antara kekhawatiran, kejengahan, dan batinnya yang terus berontak mengulang permintaan Widya. Sengaja diputar di dalam kepalanya bagaikan piringan hitam yang memainkan musik sendu di malam kelabu.

Sampai di rumah besar itu, Dilara melompat keluar, berlarian kecil menjaga keseimbangan di atas stilettonya menyusuri anak tangga mengabaikan pertanyaan pembantu yang menyambut kedatangannya. Pintu kamar Widya dibuka, memperlihatkan seorang dokter tengah menyuntikkan sesuatu pada selang infus yang digantung di samping ranjang tempat Widya berbaring.

"Eyang saya harus dilarikan ke rumah sakit," tuntut Dilara senewen.

"Beliau menolak, Mbak," Kartika menjawab kalem. "Kami sudah membujuknya."

"God. Kenapa harus begini sih." Perlahan-lahan dihampiri Widya yang beristirahat. Kepalanya tengadah memandang dokter pria paruh baya yang menggeleng dan menghela napas panjang.

"Sekarang kita semua hanya mampu bergantung pada Tuhan. Selanjutnya, biarkan Tuhan yang menentukan."

"Enak sekali Anda bilang seperti itu. Kalau seorang dokter hanya bergantung pada Tuhan, tandanya kalian menyerah pada keadaan. Pasrah. Dan hal itu bisa berpengaruh pada kinerja kalian. Bagaimana kalau masih ada celah, meskipun sempit, yang bisa menyelamatkan nyawa seorang pasien? Bagaimana kalau dengan kepasrahan kalian ini nyawa seorang pasien tidak bisa tertolong? Lalu kalian dengan seenaknya bilang, 'Maaf, Nona. Ini Takdir. Tuhan sepertinya berkehendak lain.' Begitu mudahnya? Lalu untuk apa kalian belajar ilmu kedokteran mahal-mahal kalau segampang ini menyatakan keputusasaan, hah?!" Dilara naik pitam. Amarah bergemuruh di dadanya.

"Nona Dilara, kami bukan Tuhan. Kemampuan kami terbatas."

"Kalau kalian sudah tidak sanggup, saya bisa menghubungi dokter dari luar negeri agar datang kemari."

Dokter lelaki tersebut menatap Kartika dan seorang suster yang saling melemparkan pandangan tak mengerti.

"Nyonya Widya sudah terlalu sepuh. Usianya bahkan mencapai angka delapan puluh..."

"Tetangga sebelah usianya mencapai ratusan. Dia sepuh. Dan dia masih hidup." Dilara mengibas tangan di udara, mengusir dokter dan suster yang dianggapnya terlalu mudah patah semangat dalam menangani seorang pasien.

Dokter dan suster yang menemaninya berpamitan pergi. Hanya Kartika yang bertahan dalam kebisuan panjang.

"Aku akan menunda acara peragaan busana sampai keadaannya stabil."

STILETTALE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang