Hujan mengguyur deras kota Jakarta sejak pagi. Dari balik kaca jendela apartemen Ares, Binar mengamati air yang tercurah dari awan kelabu bagaikan ribuan jarum yang dihempas dari atas. Berulang kali ia mengecek jam dinding, lalu ponsel. Hujan deras membuat ia menunda pergi ke kantor Dilara untuk menggantikan sementara waktu perempuan itu. Sejak sebelumnya, ia telah menghubungi Lani akan kemungkinan keterlambatan atau bahkan ketidakhadirannya di kantor tersebut. Jemarinya terketuk di atas sandaran sofa. Bayangan Ares terpantul di kaca. Binar menoleh mendapati Ares mengenakan jaket dan merapikannya.
"Mau ke mana kamu ujan-ujan begini?"
"Nemuin seseorang. Ini nungguin reda kok."
Mata Binar terpicing curiga. "Siapa tuh?"
"Jangan kepo." Lelaki itu mengulum senyum. "May I bring your car? I'll take you to the office."
Gadis tersebut mencebikkan bibir. Ia melangkah malas menghampiri meja di dekat sofa, meraih kunci mobil, dan melemparnya pada Ares. Perlahan, hujan yang semula turun deras mulai mereda dan hanya menyisakan rintik-rintik kecil. Tangan Ares terulur disambut oleh Binar dengan gandengan. Keduanya berjalan beriringan. Binar bermanja-manja dengan bergelayut pada lengan Ares. Beberapa penghuni apartemen yang melihat kedekatan intens di antara mereka pasti berasumsi yang tidak-tidak. Binar sudah terbiasa mendapatkan tatapan skeptis macam itu.
"Dari dulu orang-orang yang nggak tahu kita saudaraan pasti ngira kita pacaran ya, Res. Lihat tuh muka ibu-ibu, pasti ngira kita pasangan mesum. Habis kamu nggak mirip aku sih. Kamu lebih mirip Mama."
Mendengar celotehan Binar, Ares tertawa pendek. "Kamu lebih mirip Papa. Mirip Erlangga juga."
Gadis itu mendongak. Ia memerhatikan wajah Ares dari samping dan membenarkan ucapannya. Ada senyum miris yang tersimpan di wajah jelitanya mendengar pernyataan tersebut.
"Mirip atau nggak, nggak akan pernah ngerubah fakta kalau kita masih sedarah kok." Ia menghela napas panjang. Di dalam lift, Binar masih enggan melepas tangannya, seakan ia tak ingin ditinggal pergi lagi. "Papa juga masih sayang sama kamu. Kalau nggak sayang, mana mungkin kamu diterima di rumah tiap berkunjung?"
Terjadi kegemingan selama beberapa saat. Ares mengamati tangan Binar di lengannya, lalu matanya berpindah menuju gadis tersebut.
"Boleh kapan-kapan aku bertemu Papa lagi?"
"Ya bolehlah." Binar membalas pandangan yang dilempar menuju ke arahnya. "Tapi kalau mengunjungi Papa, usahakan jangan ketahuan Mas, ya. Tahu sendiri wataknya gimana. Bisa babak belur kamu."
Menanggapi kalimat tersebut, sudut bibir Ares terangkat membentuk seringai geli. Ucapan Binar memang benar. Keduanya sangat mengenal Erlangga sejak dulu. Ketika terlibat duel di arena berlatih karate, Erlangga hampir saja mematahkan tulangnya. Sebelum pertengkaran yang sering terjadi di antara kedua orangtua mereka, ketiga bersaudara tersebut dikenal sangat akur.
Aroma hujan membawa serta kenangan pahit ke dalam kepala masing-masing. Walaupun menjadi bungsu, Binar tak akan melupakan suara menggelegar Nadhira. Dari balik celah pintu sempit, ia melihat dan mendengar pertengkaran orangtuanya. Suara nyaring Nadhira terngiang di telinganya yang tak patut didengar oleh bocah seusianya.
"Ya kamu benar, saya tidak pernah mencintai kamu. Saya mengiyakan permintaan Papa saya demi menuruti ambisinya. Kamu saja yang mau dibodoh-bodohi."
"Tapi tidak dengan memperlakukan saya seperti ini, Nadhira. Demi Tuhan, mengapa kamu melakukan ini? Kamu telah membohongi saya. Saya mencintai kamu dengan tulus, tapi ini balasannya? Bertahun-tahun kita hidup bersama tapi kamu berani bermain api di belakang saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
STILETTALE (SELESAI)
ChickLitSudah hadir di toko buku kesayangan Anda, bukan toko bangunan Buruan miliki versi cetak Stilettale sebelum ga ada di toko lagi!!!