Rupa-rupanya wartawan yang lama memendam rasa lapar semakin brutal menyerang Dilara hingga urat-urat nadinya. Berita tentang acara pagelaran busana yang sempat ramai diperbincangkan akibat kasus plagiasi salah seorang desainernya kini menjadi topik utama di semua acara infotainmen. Tak hanya televisi, majalah dan koran memuat kejadian memalukan tersebut. Serentak, orang-orang yang bahkan tak tahu duduk persoalannya seperti ikut melemparkan air comberan ke wajah Dilara, demi memenuhi nafsu balas dendam atas rasa dengki mereka.
Sangat diyakini bahwa sejak awal berkarir, Dilara tak pernah suka diekspos. Jika beberapa majalah membutuhkan artikel tentang dirinya, ia perlu menimbang-nimbang selama beberapa saat, lantas bila dirasa cukup menguntungkan bagi nama rumah modenya, maka ia terima tawaran mereka. Dilara tak pernah menjamah wine bila tidak benar-benar membutuhkannya. Ia memerlukannya sekadar mengusir stres. Diamatinya layar televisi besar di hadapannya saat itu dengan tatapan kosong. Jemarinya memutar-mutar gelas berleher panjangnya. Tepi gelas tersebut bersentuhan dengan bibirnya, membiarkan tetes terakhir tertelan ke dalam kerongkongan.
"What a cruel world. Mereka sangat bahagia melihatku dihancurkan seperti ini." Ia menyeringai miring, meletakkan gelasnya di atas meja secara kasar.
Sepertinya mandi adalah alternatif lain untuk membantunya rileks. Air hangat yang menyentuh permukaan kulitnya sesaat setelah bathrobes putih ia jatuhkan di atas lantai memberikan sedikit ketenangan. Ia berdiri dalam diam di bawah kucuran shower. Pikirannya kosong. Matanya terpejam untuk beberapa saat, membiarkan air hangat itu mengguyur dari puncak kepala sampai ujung kakinya, seakan hal tersebut bisa menghapus segala kegundahan sekaligus dosa-dosa yang ia yakini memberikan kesialan padanya. Matanya terbuka saat ia dengar dering ponselnya di seberang kamar. Dilara tak memedulikan bunyi dering yang terus meraung-raung. Ia bergeming berhadapan dengan dinding keramik yang telah diperciki air, membentuk titik-titik kecil bening, menetes ke bawah secara perlahan.
Pembicaraan seputar plagiasi yang dilakukan anak buahnya tak akan berhenti tanpa pengalihan isu. Selama media gencar-gencarnya menjatuhkan bom, selama itu pula ia terancam dihabisi. Lekas ia menggosok tubuhnya dengan shower puff yang sudah dibasahi oleh sabun cair. Ia menggosok sangat cepat, berharap untuk menyudahi mandi malam yang seolah menyuntikkan jalan keluar yang sempat melintas di kepalanya.
Dalam keadaan basah, wanita itu mengenakan kembali bathrobesnya, membiarkan air menetes dari pucuk-pucuk rambut. Ia meraih ponsel di atas nakas, melihat nama Binar yang memenuhi daftar panggilan tak terjawab. Tanpa menghiraukan panggilannya, jemarinya menari cepat mencari satu kontak dengan nama Erlangga, lantas tanpa berpikir panjang menekan pilihan panggil dan menunggu dengan degup jantung tak wajar. Dering ke sekian panggilannya dijawab.
"Apa?" suara pria di seberang sana terdengar sedikit kesal. Dilara peduli setan dengan respon jengah itu.
"Aku ingin bertemu kamu besok."
"Buat apa? Kalau nggak penting, mending nggak usah. Buang-buang waktu berharga."
Perempuan itu menekan bibirnya membentuk satu garis keras. Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan mencari ketenangan. "Kita sama-sama menggerakkan roda bisnis di bidang berbeda, sama-sama cari keuntungan. Harusnya kamu udah tahu ke arah mana pembicaraanku ini. Aku ingin berbicara soal 'bisnis' dengan kamu."
Ada tawa mengejek yang membuat Dilara mengernyit kesal.
"Hm... aku nggak yakin bisa meluangkan waktu besok. I'm so busy, ya know?"
"Oh come on, Erlangga Tunggadewa yang terhormat. Seorang pemimpin seperti kamu nggak akan dibebani banyak kerjaan kalau sudah memiliki tim yang memadahi. Dan aku sangat percaya tim yang kamu punya sangat berkompeten. Pemimpin itu kerjanya jadi telunjuk. Aku nggak goblok."
KAMU SEDANG MEMBACA
STILETTALE (SELESAI)
ChickLitSudah hadir di toko buku kesayangan Anda, bukan toko bangunan Buruan miliki versi cetak Stilettale sebelum ga ada di toko lagi!!!