Putri Tidur dan Sebuket Mawar Merah

63.3K 5.9K 1.1K
                                    

Di atas bangkarnya, Dilara tergeletak dengan selang infus terpasang di tangannya. Di sofa panjang, Binar duduk mengamati. Menurut dokter, Dilara hanya mengalami tekanan, kelelahan, dan dehidrasi, sehingga memerlukan waktu untuk beristirahat dan tidak diperkenankan bekerja keras sampai badannya pulih. Binar yakin Dilara tidak akan pernah bersedia mendengarkan penjelasan dokter. Ia wanita yang keras kepala yang akan membiarkan penjelasan tersebut masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Menghela napas panjang, Binar beranjak berdiri. Di depan kamar rawat Dilara, ia menghubungi Kartika untuk ikut berjaga saat ia mengambil alih tugas-tugas Dilara. Sepeninggal Widya, memang Kartika sudah tidak terikat lagi dengan keluarga Dilara. Dilara memintanya untuk mencari orang lain yang lebih membutuhkannya. Tetapi mantan asisten pribadi Widya itu bersikeras tidak mau pergi begitu saja. Walaupun tidak bekerja lagi dengannya, Kartika tetap siap sedia membantunya. Termasuk urusan seperti ini. Setidaknya Binar tahu apa yang harus dilakukannya.

Berjalan meninggalkan pintu kamar rawat Dilara, Binar mendekatkan ponsel pada telinga, berjalan makin menjauh. Di saat itu pula, Erlangga datang, berhenti di depan pintu ruang rawat Dilara tanpa melepas pandangannya menuju adiknya yang kini lenyap dilahap kelokan. Sosok Binar tidak lagi menyapu pandangannya. Ia masuk ke dalam. Tidak ada siapapun di dalam, kecuali Dilara yang masih memejamkan mata. Sampai di sebelah bangkarnya, ia memandangi perempuan di depannya. Tiba-tiba saja suara Widya, perempuan tua yang pernah mencengkeram pergelangan tangannya begitu kuat seolah ingin melemparkan sejuta pengharapan, masuk di indera pendengarannya. Disertai pula bayangannya. Ia ingat betul tatapan wanita tua itu yang membuat separuh dari dirinya seolah diterjang badai, sedangkan yang lain tetap bertahan.

"Lara adalah satu-satunya harta saya. Dia memang tidak sama dengan anak kebanyakan saat kecil dan remaja. Dia sangat tertutup dan menghindari bersosialisasi dengan orang lain. Sepanjang pengetahuan saya, dia sulit menjalin relasi dengan siapapun, kecuali jika menyangkut pekerjaannya," demikianlah suara Widya yang terngiang dalam kepalanya bagaikan piringan hitam yang diputar lagi. "Hal itu membuat saya sedikit khawatir. Dia sangat kesepian. Jika benar kamu memang orang yang berhasil membuat dia berani membuka pintu lebar-lebar dan berdamai dengan dirinya sendiri, maka saya yakin saya mempercayai orang yang tepat. Jika bukan, saya justru berharap kamu mampu melakukannya. Saya sangat memercayakan Lara ke kamu. Jika saya tidak ada, jaga dan cintai dia seperti saya menjaga dan mencintainya. Jika kamu tak mampu, jangan sakiti dia yang selama ini dijaga dan dibahagiakan mati-matian oleh ayah, ibu, kakek, dan neneknya."

Hari itu, Binar menjadi saksi bisunya. Gadis itu hanya diam, mengamati, dan tak mengeluarkan sepatah katapun kecuali berdoa dalam hati meminta Tuhan agar kakaknya tidak memanfaatkan situasi seperti itu demi kepentingan pribadinya. Hari itu pula Erlangga berpikir selama seharian penuh. Kalimat wanita tua itu menghantui dirinya, bahkan menyusup di balik kabut mimpi yang menggulungnya ke dalam dilema. Bahkan dalam mimpi itu, ia dipertemukan lagi dengan sosok ibunya. Lantas melihat dirinya sendiri sebagai anak kecil yang dipukul saat ia melakukan kesalahan. Dan suara melengking ibunya di depan ayahnya yang mengatakan kejujuran bahwa pernikahan mereka semata-mata dijalaninya demi bertahan hidup.

Mimpi itu berkelindan membawa perasaan aneh yang fluktuatif. Antara takut, cemas, marah, dan kecewa. Padahal ia sangat mencintai ibunya tanpa syarat.

Menepiskan pikiran-pikiran itu lagi, Erlangga mengembalikan kesadarannya. Dipandangnya tangan Dilara. Setan dalam benaknya boleh saja memakinya, tapi intuisi serta hatinya berbisik pada alam bawah sadarnya. Diraihnya tangan tersebut.

"Mamaku pernah mengajarkan aku cara bertahan hidup. Dia menganggap kalau manusia perlu bertindak curang. Dia mencurangi Papaku. Selama bertahun-tahun aku krisis kepercayaan pada perempuan. Tapi seseorang mengembalikan kepercayaan sekaligus memberikan harapan semu. Itu terjadi beberapa tahun silam. Sampai aku ketemu kamu di dalam lift." Ia berhenti sejenak, mengingat pertemuan pertamanya dengan Dilara. "Asal kamu tahu, aku mempelajari banyak hal tentang kamu. Kekeraskepalaan kamu, perdebatan di meja, kasih sayang kamu pada Eyang Widya. Dan selama itu pula secara nggak langsung, kamu juga mengajarkan aku cara bertahan hidup. Tapi tanpa menyakiti orang lain. Tanpa mencurangi siapapun. Itu alasan aku mau menikahi kamu, Di. Agar aku belajar banyak dari kamu." Ia menepuk dan mengusap lembut telapak tangan Dilara.

STILETTALE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang