Sinar mentari yang menyusup melalui celah jendela yang terbuka menerpa wajah wajah Dilara sehingga membuatnya perlahan menguak kelopak matanya yang berat. Ia mengerang perlahan merasakan pening di kepala bagaikan dipukul palu gada. Beberapa detik ia terdiam memandangi langit-langit kamar dan memutar ulang kejadian malam lalu. Baik, ia sedang berdiri di garden rooftop bersebelahan dengan Erlangga dan menghabiskan sebotol sampanye. Lalu ia tak ingat apapun.
"My God!" Ia terlonjak. Dipantaunya keadaan sekitar kamar. Matanya menjelajahi tubuhnya. Ia meneliti seluruh pakaiannya, lalu mendesah lega. Dahinya ditepuk berkali-kali memaki dirinya sendiri yang dengan teledor membiarkan dirinya mabuk saat bersama seorang pria. Saat mabuk, ia berusaha sebisanya berjauhan dengan lelaki manapun. Ia lebih memilih mengurung diri di apartemen dan tertidur di depan televisi, ruang kerja, ruang tamu, atau bahkan balkon daripada berakhir di ranjang bersama lelaki asing yang ditemuinya di klub malam. Setidaknya Dilara masih berpakaian lengkap. Pakaian yang masih sama seperti kemarin.
Buru-buru ia menguncir rambut dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak kurang dari lima belas menit ia sudah turun dengan pakaian rapi, bergabung bersama Erlangga yang menikmati secangkir kopi di meja makan.
"Morning, Babe."
"Don't babe me." Dilara menuangkan air ke dalam gelas. Ia mengamati sarapan yang sudah tersedia di meja. Bola matanya terputar ke atas. Nasi goreng dengan telur mata sapi. Nyaris setiap hari hanya menu itu yang dibuat pembantu. "Pembantu kamu suruh masak yang lain, kek. Atau aku aja yang masakin biar setiap hari ada variasi menu?" Ia duduk dengan muka masam.
"Bersyukur, Di. Masih ada yang nggak bisa makan di luar sana."
Dilara mendesah. Sebelum ia menyuapkan sesendok sarapannya, mulutnya terbuka berkata, "Siapa yang bawa aku ke kamar? Kamu?"
"What do you expect? Batman?"
"Kamu nggak curi-curi kesempatan, kan?!" nada Dilara mendadak meninggi.
"Ngapain nyuri kesempatan? Astaga. Sori ya, aku ini lelaki terhormat yang nggak bakal nyentuh cewek saat mabuk. Gila." Ia menggeleng-geleng kepala.
Ah, memang benar. Semalam saat Dilara mabuk dan bertindak gila dengan menciumnya tiba-tiba, ia spontan mendorong jauh tubuh perempuan itu, berlari keluar, dan menutup pintu kamar Dilara sembari mengatur napasnya serta berusaha menormalkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdebar. Ya... sebelum Dilara bertindak lebih gila, lebih baik ia kabur, daripada keesokan harinya ia babak belur dihajar perempuan itu.
Sepanjang eksistensinya di dunia, ia tidak pernah sembarangan mencium perempuan. Bahkan Saka selalu menawarkan perempuan-perempuan bahenol atau mengajaknya menonton blue film lantaran mengkhawatirkan sahabatnya yang selalu diasumsikan teman-teman sekampus mereka sebagai gay. Tidak, ia memang tidak pernah sembarangan mencium perempuan. Sebab ia hanya akan mencium perempuan yang benar-benar dicintainya. Dan tentu saja dalam keadaan sadar.
Seperti saat pertama kali ia mencium Kana dan mengatakan bahwa ia mencintainya dan dibalas oleh perempuan itu dengan berkata mereka lebih baik bersahabat...
"Itu artinya kamu beruntung masih punya kesempatan bernapas." Dilara meneguk minumnya tanpa melepaskan tatapan tajamnya.
Bibir Erlangga tercebik ke bawah. Ia memilih untuk tak membuka mulut dan bercerita segila apa Dilara saat mabuk. Itu lebih baik daripada jika ia terkena lemparan stiletto perempuan tersebut.
*
Roxelana duduk di bangku bartender sembari menikmati segelas lime squash bersama seorang teman perempuannya. Setelah kurang lebih beberapa saat mengobrol, teman perempuannya berpamitan pergi. Ia masih duduk bersilang tungkai, mengaduk-aduk minumannya yang masih penuh. Perhatiannya sempat tertaut ke arah pintu ketika seseorang masuk dan langsung mengambil tempat duduk di sampingnya. Perempuan itu menelisik lelaki tersebut dengan saksama. Ia memalingkan wajah sebentar, menggigit bibir bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILETTALE (SELESAI)
ChickLitSudah hadir di toko buku kesayangan Anda, bukan toko bangunan Buruan miliki versi cetak Stilettale sebelum ga ada di toko lagi!!!