Putri dan Nenek Sihir di Gubuk Derita

60.6K 5.2K 797
                                    

Seumur hidup, Dilara tak pernah berpikiran akan tidur sekamar dengan seorang pria macam Erlangga. Bahkan dalam mimpi terburuknya. Lantaran masih dalam pengawasan Budhe Kanthi, mau tak mau Dilara duduk meringkuk di atas ranjang, kadang memeluk lutut, kadang mencoba berbaring, kadang pula berdiri selama mendengar Erlangga sejak tadi ribut sambil mondar-mandir dengan ponsel di tangan. Dan hal tersebut dilakukan berkali-kali tanpa henti sampai jarum jam pendek menunjuk angka satu! Bagaimana Dilara tak pening mendengar keributannya?

"Dooooh berisik banget sih! Aku nggak bisa tidur! Kalau kamu mau berisik, bisa kan di luar kamar?? Terserah mau di ruang tamu kek, dapur kek, atap rumah kek, Monas sekalian kalau bisa!" wanita itu menggerung seraya mengatupkan tangan pada telinga.

Erlangga mendekatkan telunjuk pada bibir. "Ssshhh. Ini pembicaraan penting." Ia melanjutkan percakapannya.

"Kan masih ada hari esok, Tuan Erlangga Tunggadewa yang terhormat. Ini sudah jam satu!"

"Tapi ini kerjaan penting!" Ia kembali pada ponselnya. "Halo, iya maaf. Biasa, istri saya, udah nggak sabar aja."

Praktis saja Dilara melempar bantal sekuat tenaga sampai menimpuk kepala Erlangga dan membuatnya nyaris kelepasan mengumpat. Ia menjauhkan ponsel seraya memelototkan mata ke arah Dilara yang ikut-ikutan mendelik dan memberi isyarat memerintahkannya diam.

"Eh... begini, Pak. Kita lanjutkan besok lagi ya. Baik. Di tempat biasa. Kita adakan meeting bersama para arsitek dan model maker untuk membahas kelanjutan proyek. Terima kasih. Selamat malam." Usai mematikan panggilan, ia mengangkat ponsel di udara. "Puas, Ma?"

"Oh... puas sekali, Papa. Kalau kamu berisik lagi, bukan bantal yang melayang. Lampu duduk pun bisa aku timpukin ke kamu." Dilara menyibak rambut ke belakang. Ia mengangkat selimut, menimbun diri mulai memejamkan mata. Beberapa detik matanya belum sepenuhnya tertutup rapat, ia merasakan ranjangnya berderak. Spontan, badannya diputar, melihat Erlangga berniat merangkak naik. "Mau ngapain kamu?"

"Tidur lah."

"Di bawah."

Erlangga melebarkan mata. "Hah?"

"Di bawah!" Telunjuk Dilara secara tegas mengarah menuju karpet. "Atau sofa. Terserah."

"Ini rumahku loh."

"Ya bodo."

Tidak peduli pada perintah Dilara, Erlangga merangkak naik, membuat Dilara berjingkat duduk dengan wajah panik.

"Kamu mau ngapain?" wanita itu berseru defensif.

"Emang mau ngapain, hah?" Ia merangkak makin mendekat.

"Jangan macam-macam ya." Sejurus kemudian, Dilara menendang tubuh Erlangga sangat kencang sampai membuat pria tersebut jatuh bergulungan di bawah ranjang dan meraung kesakitan.

"Oooowww!"

Anak rambut Dilara yang turun di dahi disingkirkan menggunakan jemari. Kepalanya melongok ke depan, melihat Erlangga mengusap-usap bahu dan mendongak menatapnya. Erlangga menggeleng-geleng, sedangkan Dilara melipat tangan di depan dada dan menghela napas pendek.

"Ini namanya KDRT. Kamu bisa dilaporin loh, kayak kasus aktor yang ditusuk gunting istrinya. Mau aku laporin ke polisi?" Telunjuk Erlangga teracung pada Dilara sarat akan ancaman.

"Silakan laporin. Aku bisa laporin balik ke polisi atas tuduhan tindakan pelecehan seksual."

Mendengar sederet kalimat tersebut, Erlangga terbahak keras. Sebelah alis dan sudut bibir Dilara terangkat.

"Mana ada pelecehan seksual dilakukan suami ke istri. Ck." Ia mengetuk kepalanya sendiri mencemooh Dilara, lantas beringsut berdiri.

Ah sial. Benar juga. Posisinya tak menguntungkan saat ini. Dilara menyingkirkan poni dan membuang muka menelan balasan sarkastis itu. Terdengar langkah kaki di luar kamar menghampiri pintu, ketukan keras, dan suara Budhe Kanthi mengekor kemudian,

STILETTALE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang