Hujan mengguyur ibukota. Tampak para pejalan kaki berlari tunggang-langgang menghindari terpaan air dingin yang tercurah malam itu. Kendaraan berlalu lalang dengan bunyi klakson yang ditekan tak sabar. Demikian pula dengan klakson mobil Erlangga. Ia mendesah kesal terjebak macet di bawah hujan deras. Berulang kali ia menengok jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah terlalu larut. Umpatan terlontar dari bibirnya.
Ponsel yang ia letakkan di atas dasbor menjerit-jerit minta perhatian. Nama Binar terpampang pada layarnya. Dengan segera, ia mengangkat panggilan dan mendengar suara adiknya di seberang sana.
"Lagi kejebak macet nih, Bin. Mana hujan lagi. Tapi udah deket loh ini! Nggak tahu berapa jam lagi deh macetnya."
"Duuuh. Nanti keburu pergi loh."
"Ya terus aku harus gimana, Bin?! Nerobos hujan? Gila kamu."
"Boleh tuh. Kesempatan tidak datang dua kali. Buruan!"
Yang ada dalam kepala Erlangga hanya satu kata: sinting. Meski demikian, pada akhirnya ia mengikuti perintah gila adiknya. Ia turun dari mobil, menerobos hujan menuju bandara.
Sial. Ia basah kuyup sekarang. Tapi peduli setan, yang ada di pikirannya bukanlah itu, melainkan Dilara. Ia tidak akan membiarkan wanita itu pergi untuk ke sekian kali. Setelah semua yang dilakukannya dan dibalas dengan hal macam ini? Jangan konyol. Ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama: melepas wanita itu.
Untuk sekian kali ia menengok jam tangan. Masih tersisa sedikit waktu. Di mana Dilara?
Sosok perempuan berambut panjang tertangkap mata Erlangga. Wanita itu berjalan memasuki bandara lengkap dengan kopornya, melenggang anggun membelakanginya. Segera ia berlari mendekat dengan napas memburu dan menyentuh pundak perempuan tersebut.
"Dilara, tunggu. Aku nggak akan biarkan kamu pergi lagi. You gave me second chance to love you."
Perempuan tersebut seketika berbalik. Ia menyibak rambut ke belakang. Dengan suara sopran melengkingnya, ia menjawab, "Salah orang ya, ganteng? Eyke Sulastri."
"Anjing," umpatan tersebut praktis terlontar keluar begitu sadar bahwa perempuan yang ia pikir Dilara rupanya hanyalah seorang bencong. "Maaf. Salah orang."
Sulastri mencolek dagu Erlangga, membuat pria tersebut bergidik ngeri, lalu melambai dan melanjutkan langkahnya. Erlangga mengelus dada. Diusapnya dagu yang tadi dicolek Sulastri dan bergidik lagi.
"Ga. Ngapain kamu di sini?"
Suara Dilara! Berbalik badan, Erlangga mendapati Dilara berdiri tak jauh darinya, melipat tangan di depan dada. Kopor yang akan diangkutnya serta berdiri di samping. Sorot mata Erlangga berganti dari kopor menuju Dilara yang menunggu jawaban.
"Kenapa kamu pergi?"
"Aku nggak bisa jelasin. Rumit."
"Kita masih punya sedikit waktu. Aku yakin penjelasan kamu nggak serumit rumus Aljabar yang bikin aku remedi di SMA."
Dilara memutar bola mata ke atas. "Kamu nggak akan paham alasannya."
"Itulah gunanya penjelasan, Di."
Helaan napas Dilara terlepas berat. Ia mengusap rambut ke belakang, bersipandang dengan Erlangga yang memberikan ekspresi penuh harap.
"Yang kamu lakukan ke saya itu... jahat."
"Tapi—"
"Saya belum selesai. Purnama di New York dan Jakarta memang berbeda. Tapi bukan berarti kamu bisa meninggalkan saya dan hanya mengirim surat meminta putus."
"Di—"
"Saya belum selesai. Membaca surat dari kamu, hati saya hancur. Hanya teman-teman saya yang bisa menghibur saya selama bertahun-tahun. Dan sekarang, kamu datang di depan saya seakan apa yang kamu lakukan pada saya itu baik?"
"Di, kamu salah skenario. Itu dialog cerita sebelah."
Oh. Dilara tahu kesalahannya. Ia menepuk dahi dan merutuk pelan. "Maaf. Hujan di luar bikin pikiran saya jadi tidak waras." Ia mengibaskan tangan dan menggeleng, lalu meraih kopornya. "Sudahlah. Sebentar lagi pesawat saya akan berangkat. Saya tidak mau melihat kamu lagi."
"Tapi kamu belum menjelaskan kenapa kamu pergi!" nada Erlangga naik tiga oktaf. Ia mencekal tangan Dilara, meminta tetap tinggal. "Apa yang membuat kamu pergi?"
Bola mata Dilara melirik pergelangan tangannya yang dicekal. Ia memaksa pegangan tersebut agar terlepas. "Kamu benci Uttaran."
"Apa hubungannya???"
"Saya ditawari main di sana. Bye, Ga."
Dan wanita itu pergi begitu saja meninggalkan Erlangga yang hanya menatap kepergiannya tanpa berkedip.
"Bang@#@$#@$%#."
*****
Serius amaaaat buuuuuuuk.
Bukan. Ini bukan ex part. Ini cuma parodi LOL. Saya nggak akan bikin ex part.
Abaikans aja. Anggap part ini tak ada.
Mending tunggu aja spin off Binar dan Ares.
I love teasing u.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILETTALE (SELESAI)
ChickLitSudah hadir di toko buku kesayangan Anda, bukan toko bangunan Buruan miliki versi cetak Stilettale sebelum ga ada di toko lagi!!!