Aphrodite

57.7K 5.8K 485
                                    

Gadis kecil yang pernah ditemui Erlangga tempo hari di taman tampak berlarian bersama pengasuhnya. Bermain mengejar kupu-kupu dengan tawa cekikikan. Sedang di samping Erlangga kini, Kana duduk mengamati bocah tersebut, sesekali menegur agar tidak bermain terlalu jauh. Erlangga berpaling memandang Kana yang tak menghapus jejak senyum sumringah di wajahnya yang berseri-seri.

"Aku lega kalau kamu sebahagia ini," katanya. "Aku nggak perlu takut dan khawatir cowok brengsek itu nyakitin kamu lagi."

Kana tersenyum. "Nggak ada lagi hal yang lebih membahagiakan bagi aku selain dia." Ia menunjuk putrinya yang melambaikan tangan ke arahnya. "Di kafe waktu itu kamu bilang kalau aku bukan lagi jadi seseorang yang bisa bikin kamu ingat pada diri kamu sendiri." Wanita itu menyatukan alisnya. "Aku tahu dan sangat kenal kamu. Di depan orang lain, kamu akan bersikap sangat kaku, dingin, dan bahkan nggak ada rasa peduli. Tapi semua sikap kamu yang seperti itu akan hilang kalau kamu berhadapan dengan orang yang tanpa kamu sadari bikin kamu nyaman menjadi diri kamu sendiri." Perempuan itu mengembangkan senyum makin lebar. "Kalau bukan aku lagi, perempuan mana yang berhasil bikin kamu jadi diri kamu sendiri? Istri kamu?"

Spontan, Erlangga tertawa. "Nggak butuh waktu lama bagiku buat jatuh cinta sama kamu. Tapi butuh waktu yang sangat lama untuk melupakan kamu." Ia mengambil jeda dengan helaan napas pendek. "Selama itu aku berusaha buat menerima kenyataan dan terbiasa hidup tanpa kamu. Sejak kamu menemukan kepingan hati kamu dalam diri orang lain, aku nggak bisa melakukan hal yang sama seperti yang kamu lakukan. Karena seluruh hatiku udah kamu patahkan. Aku nggak punya lagi sisa hati buat mencintai perempuan lain. Di luar sana, perempuan seperti kamu, yang membawa rumah nyaman untuk ditinggali, itu nggak ada lagi. Susah dicari." Matanya bertubrukan dengan mata Kana.

"Susah dicari dan nggak mau cari emang beda tipis." Kana menggeleng-geleng. "Jadi bener kata orang-orang kalau kamu nikahin perempuan itu bukan karena cinta?"

Erlangga tidak menjawab. Ia memalingkan pandangan menuju Sakura yang sekarang meniup gelembung sabun. Ia bergeming sangat lama. Kana mengangguk dan memilih untuk diam. Ia tak akan lagi mencampuri urusan hati Erlangga.

*

"Terima kasih karena kamu mau bantuin aku buat pemotretan," ujar Dilara di studio foto yang khusus digunakannya untuk pemotretan produknya.

Ares yang selesai mengabadikan model-model Dilara dalam kamera profesionalnya mengumbar senyum miring simpul. "Kalau kamu butuh bantuan yang lain, jangan sungkan-sungkan buat manggil aku."

Dilara mengangguk. Pandangannya berganti diarahkan menuju model-modelnya. Tangannya bergerak memberi perintah pada model-model itu agar segera berganti pakaian dan mengosongkan studio. Tinggallah mereka berdua di studio tersebut.

"Boleh lihat?"

Ares mengangsurkan kameranya pada Dilara dan diterima dengan senang hati. Diperhatikannya perempuan tersebut tanpa berkedip. Sesekali matanya menyorot kameranya yang kini digeledah oleh Dilara, lalu beralih menuju Dilara lagi. Sadar sedang diperhatikan, Dilara mengangkat wajah.

"Ada yang salah?"

Ares menggeleng. Sebelum ia memberikan balasan dengan kalimat, Binar datang tergesa-gesa dan meminta maaf pada Dilara karena tak dapat menemaninya mengawasi pemotretan kali ini. Melihat kakaknya, mata Binar dibulatkan. Ia menatap Ares penuh isyarat.

"Aku mau nyapa model-modelku di ruang ganti dulu," pamit Dilara pada Ares dan Binar. Ia melangkah menuju ruang ganti, meninggalkan Ares bersama adiknya yang tak mengubah raut wajahnya.

Tak terlalu memedulikan ekspresi Binar, Ares menyibukkan diri dengan kameranya lagi. Ia melirik Binar yang berdecak dan mengusap rambut ke belakang.

STILETTALE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang