Ya... setidaknya Dilara mendapatkan banyak inspirasi sejak kedatangannya di tempat yang tak ia kenali. Sore hari di samping rumah, ia menggambar rancangan baju dengan peralatan sederhana: pena dan buku catatan. Inspirasinya muncul beberapa waktu lalu saat dilihatnya segerombolan bocah tengah bermain sepak bola di lapangan samping rumah Indra. Tak hanya laki-laki, bocah perempuan pun membaur mengikuti jalannya permainan. Ditemani secangkir teh madu hangat yang bergumul dengan udara dingin, ia berhasil menggambar tiga model yang lebih sederhana daripada rancangan-rancangannya yang lain. Diamati anak-anak yang asyik bermain itu. Senyum tipis terkembang di bibirnya.
Betapa sederhananya cara mereka untuk bersenang-senang. Hanya bermodalkan sebuah bola dan lapangan luas. Mereka mampu menciptakan kesenangan tanpa mengeluarkan budget besar. Hal tersebut mengilhami Dilara membuat model baju sederhana—namun tetap terlihat modis—dengan harga yang ditarget sangat murah. Kembali penanya menari-nari di atas kertas, melanjutkan model baju lain, bersamaan dengan terdengarnya suara Erlangga menyapa kerumunan bocah-bocah itu. Mata Dilara sempat berpindah. Ia menyilang tungkai mengubah posisi duduknya.
"Kenapa mainnya nggak ngajak-ngajak nih? Ayo sini. Aku yang jadi wasit." Dan ikutlah pria tersebut dalam kesenangan.
Sejenak, diamatinya mereka. Ia bersendang dagu menumpu siku di atas paha. Sekian detik ia memerhatikan, lantas menggambar di halaman lain dengan model lain pula. Dalam kepalanya yang sudah penuh dengan ide-ide berkelebatan, ia mulai memikirkan koleksi terbaru yang akan segera diperkenalkan pada publik.
Saat ia menyibukkan diri lagi menekuri desain lain, kepalanya terhantam bola cukup keras. Dilara terpekik sampai menjatuhkan pena ke atas lantai. Matanya mendelik jengkel. Bocah-bocah di lapangan serentak menutup mulut menggunakan telapak tangan. Dilara meletakkan buku catatan ke atas meja dan berdiri bertolak pinggang. Ia memungut bola yang tadi mendarat di kepalanya. Ditunjuk bola yang kini berada di tangannya.
"Ulah siapa ini?"
Salah seorang dari mereka yang paling kecil mengangkat tangan takut-takut.
"Sini." Dilara mengibas tangan memanggil bocah laki-laki paling kecil itu.
Bocah tersebut menghampirinya dengan tundukan kepala dan memain-mainkan kausnya. Sampai di depan Dilara, masih enggan dagunya ditarik ke atas. Dilara menepuk puncak kepalanya, membuat si bocah mengintip di balik matanya yang menampakkan rasa takut.
"Maaf, Tante," bisikannya nyaris tak terdengar.
Dilara duduk di depannya. "Lain kali hati-hati ya. Kalau kena orang bahaya. Oke?" Kalimat tersebut meluncur dengan nada yang lembut disertai senyum sekilas. Bola di tangan Dilara diserahkan pada si bocah. Begitu si bocah berbalik dan berlari menghampiri kawan-kawannya lagi, Dilara berdiri. Pandangan matanya sempat bertemu dengan Erlangga. Namun ia cepat-cepat melengos dan berlalu pergi membawa pena serta buku catatannya. Masuk ke dalam rumah.
*
Malam hari itu, tak seperti malam-malam sebelumnya, beberapa orang berkumpul di rumah Indra dan menyemut di ruang tengah yang dihangatkan oleh api unggun. Dilara mengintip sebentar dari balik tembok, mengamati sekumpulan orang yang saling mengobrol ringan membahas panen dan pemasaran buah jeruk dari perkebunan, disertai kelakaran. Tawa mereka menggelegak di tengah udara dingin malam yang membuat Dilara berkali-kali mengusap telapak tangan. Bahunya ditepuk seseorang. Ia berjingkat kaget dan praktis menoleh ke belakang.
"Ngapain kamu berdiri bengong di sini?" Ah... rupanya Erlangga. Ia mengamati keadaan di ruang tengah di mana ayahnya tengah tertawa bersama orang-orang di sekitarnya.
"Cuma—"
"Eh, kalian kenapa di sana? Ayo masuk. Ikut kumpul," suara Indra memutus balasan Dilara. Keduanya sontak mengalihkan pandangan menuju Indra yang melambaikan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILETTALE (SELESAI)
ChickLitSudah hadir di toko buku kesayangan Anda, bukan toko bangunan Buruan miliki versi cetak Stilettale sebelum ga ada di toko lagi!!!