Putri Salju di Kota Apel

60.8K 5.7K 890
                                    

Sampai mentari hampir tenggelam di balik awan jingga, Erlangga masih menekuri taman bermain. Lebih tepatnya, menekuri seorang anak kecil yang tengah bermain bersama kawan-kawannya. Ia tak tahu setan mana yang merasukinya hingga menuntunnya pergi ke tempat tersebut setelah mengikuti laju sebuah mobil yang keluar dari rumah seseorang. Ia berdecak, membatin betapa bodohnya dirinya sekarang. Jemarinya tersuruk di helaian rambutnya diikuti dengusan sebal. Sepintas, bocah perempuan berusia tujuh tahun tersebut memandang ke arahnya bersamaan ketika bola yang ia pegang menggelinding menghampiri Erlangga. Sontak, Erlangga menangguhkan sejenak langkahnya dan memungut bola tersebut. Dilihatnya bocah perempuan tersebut berlarian kecil menghampirinya dan menengadahkan kepala mungilnya.

"Om, itu bola punyaku," tukasnya dengan suara gemerincing menggemaskan. Gadis kecil itu mengulurkan tangan.

"Oh, ini punya kamu?" Erlangga membungkuk dan menyerahkan bola kecil tersebut pada si bocah. "Nih."

Bocah perempuan itu menerima, memeluknya erat seakan tak ingin direbut oleh siapapun, dan menggumamkan terima kasih.

"Nama kamu siapa?"

"Sakura."

"Bagus banget." Erlangga mengusap-usap puncak kepala Sakura. "Orangtua kamu mana, Cantik?"

Gadis kecil itu menggelengkan kepala. Tak berselang lama, seorang perempuan dalam seragam babysitter berlari menghampiri seraya meneriakkan nama pendek si bocah.

"Caca! Ya ampun, Mbak cariin ada di sini ternyata." Si babysitter menggendong Sakura dan tersenyum khidmat pada Erlangga.

"Kamu babysitternya?"

"Iya, Mas."

"Kalau jagain anak tuh yang bener dan waspada. Banyak penculik berkeliaran."

"Maaf." Si babysitter mengangguk penuh penyesalan. Ia mengucapkan terima kasih sebelum melangkah pergi.

Dalam gendongan babysitternya, Sakura menoleh sekali lagi ke belakang, pada Erlangga. Dan melambaikan tangan diikuti senyum sumringah polos khas anak kecil. Di tempatnya, Erlangga mengamati bocah perempuan tersebut tak berkedip, bahkan sampai hilang di pandangannya. Seandainya ponselnya tidak berdering, mungkin kesadaran dan akal sehatnya tak akan kembali. Ia merogoh saku memungut ponsel, mengangkat panggilan, seraya melimbai pergi meninggalkan taman bermain.

*

"Lebih suka motret pemandangan ya?" Dilara mengangguk-angguk mengamati buklet berisi sekumpulan hasil karya Ares yang ditunjukkan padanya.

"Mostly."

"Kalau perempuan?"

Menanggapi pertanyaan tersebut, Ares menyembunyikan tawanya dengan menunduk. Sebelah alis Dilara terangkat skeptis.

"Reaksi kamu sudah menjawab pertanyaanku." Sudut-sudut bibir Dilara tertekuk ke bawah membentuk cebikan. Ia menutup buklet di tangannya dan mengangsurkan kembali ke pemiliknya. Dipandanginya pemandangan kota metropolitan yang padat oleh gedung-gedung tinggi dengan kerlap-kerlip lampu dan bising kendaraan melalui rooftop sebuah restoran. "Hasil-hasil potretan kamu bagus. Ada rahasianya?"

Ares menarik bukletnya, mencermati Dilara dengan saksama. Tanpa meminta ijin, ia mengambil gambar Dilara dalam sekedip mata melalui kamera profesionalnya. Sadar kamera, Dilara praktis menoleh cepat. Dahinya mengernyit dalam.

"Rahasianya, aku mengambil objek secara impulsif. Jika objeknya manusia, aku mengambil saat dia lengah," lelaki tersebut membalas dalam intonasi rendah. Diamatinya hasil jepretan kilat tersebut dan tersenyum pada dirinya sendiri. "Jadinya lebih natural. Dan cantik."

STILETTALE (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang