Empat

2.8K 180 9
                                    


-Kupersembahkan salah satu ruang dimensi dunia ku pada kamu sekalian-

Enjoy it!

Jakarta, Indonesia.

Ruangan putih, tujuh kali delapan meter dihiasi oleh beberapa lukisan tradisional. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kunsen kayu jati yang disangkuti gorden renda dengan warna senada, dimana menghadap langsung pada sebuah pohon kapuk yang menjulang tinggi.

Billa mengucek rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang bergambar beruang di bagian ujung. Sambil menggantungkan handuk tersebut di bahu, Billa berjalan menuju laptop yang tampak menyala. Sebuah pesan dari Black Mask, organisasi mata-mata tempat gadiis itu bernaung. Billa meng-klik icon topeng hitam yang berputar pada layar dan memasukan kata sandi 5d1205. Tanggal dimana kehidupannya mulai berubah.

Tak menunggu lama untuk merubah pesan tersebut menjadi tulisan dalam sebuah kertas putih. Dengan seksama gadis itu membaca detil informasi yang tertulis dalam kertas tersebut. Foto seorang pria dengan kemeja dan kacamata menggantung dihidungnya yang mancung. Rambut hitam legam yang berantakan.

Tek..

jentikan pada kertas meninggalkan bekas lipatan pada kertas tersebut.

"Sedikit mengecewakan memang... kita lihat cara apa yang bisa ku pakai untuk mendekatimu." Billa mengangkat ponselnya yang sedari tadi bergetar dalam mode silent. Nomor tidak diketahui terpampang pada layar ponsel tersebut. Pastilah ini dari organisasi. Kim, siapa lagi.

"Ya," ucap Billa disela kegiatannya mencerna informasi.

"Kau sudah menerima file nya?"

"Baru saja. Kau serius dia Herrys Pramu Ilyas?"

"Seperti yang sudah kau baca. Ku pikir, aku agak kasihan padanya, sepertinya bocah itu dimanfaatkan oleh keluarganya sendiri."

"Hei, sejak kapan Black Mask Pion –sebutan bagi missioner organisasi –peduli pada targetnya?"

"Entahlah, kasihan saja. Baiklah selamat bekerja."

"Thanks, Kim"

Tut...tut...tut...

"Anak itu tak lulus kelas kepribadian sepertinya!" gerutu gadis itu. Billa melempar ponselnya ke kasur empuk dengan seprei putih dan motif bunga teratai. Tidak beberapa lama ponsel itu kembali berdering.

"Oh Tuhan, siapa lagi?" Billa berdeham saat tahu itu adalah panggilan dari ayahnya, Mario."Hai Dad?"

"Hmm... sesibuk itukah kau di pagi pertamamu di Indonesia?"

"Seorang teman menelpon ku Dad. Oh ya, ada apa?"

"Halun, ku dengar kau menolak tinggal di apartment yang ku sewakan?"

Billa menggosokan kakinya ke lantai mencoba mencari alasan, "Bukan begitu Dad, aku hanya ingin mandiri. Kau sudah banyak berjasa untukku. Ku pikir aku akan merasa lebih nyaman jika aku bisa mengusahakan kebutuhanku sendiri. Kau tahu aku juga akan bekerja paruh waktu."

"Apa kau meragukan ku?"

"Tentu tidak Dad, siapa yang mampu meragukan Mario Hadiningrat, salah seorang pemimpin Partai Revolusi. Ah ya, how's your speech?"

"Kau tidak menontonnya?"

"Maafkan aku, semalam aku terlalu letih. Aku akan menonton siaran ulangnya nanti, hem?"

HALUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang