18

7K 458 9
                                    

Kelly's POV

Aku menatap pada kubur Nenek. Tak kusangka hari ini adalah hari terakhir bagiku untuk melihat wajahnya. Dia tenang, tak ada beban, dan bahkan terlihat tersenyum. Ia telah beristirahat dengan tenang.

"Ayo pulang sayang,"

Aku mengikuti perintah Rita. Ia menggenggam jemariku dengan sangat erat dan menatap wajahku dalam hitungan 5 menit sekali. Apa yang ada di pikirannya? Entahlah.

"Mbak aja yang bawa mobilnya," pintaku.

Rita tak menjawab dan tetap menuntunku ke mobil. Kelly masih setia menggenggam tanganku dengan jemari mungilnya. Sesekali aku meliriknya yang sedang menatap lurus ke depan. Apa gerangan yang dipikirkan puteriku?

Aku membalas genggaman tangannya dan ia mengadahkan kepalanya untuk melihatku. Dia tersenyum padaku, tentu itu membuatku sangat tenang. Ku samakan tinggiku dengannya, sehingga aku dapat mencium pipinya yang lembut. Dia kemudin membalas ciumanku dan kembali menuntunku berjalan.

"Dia kemarin sempat demam, tapi waktu ngeliat mukamu yang lesu banget, dia langsung sembuh. Dia bilang dia gamau keliatan sakit, karena kamu juga banyak pikiran,"

"Dia pinter banget Mbak," jawabku.

Kelly yang masih tidak mengerti dengan percakapan kami, hanya bisa menatapku dan Rita secara bergantian. Aku merasa sangat gemas ketika melihat ekspresinya yang penasaran. Dia benar-benar membuatku sedikit melupakan masalah yang ada.

Rita membawaku ke rumah Nenek. Aku hanya menatap lurus dan tak ada tujuan. Kecewa? Sedih? Marah? YA! Semuanya menjadi satu disini. Pikiranku kalut tak menentu, tak tahu apa yang menjadi bahan utama yang kupikirkan. Otakku masih tetap bekerja untuk memahami situasi yang serba unexpected ini. Kini, satu per satu pertanyaan di otakku mulai terjawab, namun~ masih saja ada beban disini. Tak kunjung reda. Apa yang harus kulakukan? Hmm.

"Besok kita harus ke kantor. Ada rapat keluarga Mahesa," katanya.

Aku tak mengalihkan perhatianku dari jalanan di hadapanku. Aku mendengarnya dan mencerna semua kalimatnya, namun enggan untuk membuka mulutku.

"Hm," hanya itu yang kujawab.

Masih ada satu hal lagi yang menghambat pikiranku. Paman-pamanku, kenapa mereka tak kelihatan satu pun? Bahkan aku tak melihat ada perwakilan dari anak-anak atau istrinya. Apa sebenarnya yang mereka pikirkan? Apakah mereka tak ingat dengan orang tuanya? Oh, mungkin tidak punya otak.

Mobil ini melewati taman kecil yang menjadi kenanganku bersama Friska. Aku sangat merindukan tempat itu. Aku merindukan semua kenangan yang ada disini. Ya! Aku ingin kembali ke masa laluku.

Rita memarkirkan mobilnya dan aku bergegas meninggalkan mereka. Langkah kakiku membawaku ke taman. Aku menyebar tatapanku ke semua arah. Masih sama. Tak ada perubahan sama sekali. Ku sandarkan punggungku pada pohon besar ini, biasanya akan terdengar bisikan lembut dari seorang gadis dari balik pohon. Namun, tak ada lagi. Bahkan aku telah memejamkan mataku, namun tetap tak ada bisikan yang terdengar.

Aku sangat merindukan situasi taman ini. Ketika Friska membawaku untuk bermain ayunan, ketika Nenek menemaniku bercerita, ketika Tante menantangku untuk melempar batu ke kolam, semuanya. Kini hanya tersimpan rapi di memori usangku.

Lagi~ Air mata menghiasiku rinduku. Aku tak sedang melakukan drama, hidupku bukanlah drama, ini realita. Aku menangis bukan berarti aku sangat rapuh, namun aku hanya butuh menenangkan degup jantungku dan gundukan duka dalam hatiku.

Setiap pagi datang, tubuhku kedinginan. Ketika siang mengganti, lukaku terasa sangat perih. Ketika malam menjelang, dadaku terasa sangat sesak. Alasannya? Aku hanya merindukan orang-orang yang kucintai.

Perfect Badly (gxg) CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang