6

11.7K 738 29
                                    

Kelly's POV

Sekolah hari ini membuatku begitu bersemangat. Bukan karena ingin melabrak atau sekedar mengecam mereka yang tidak kusuka; tetapi seseorang yang sudah setia merawatku dua hari yang lalu.

Berjalan melewati kerumunan orang-orang di koridor, membuatku agak risih. Tatapan ereka dibuang begitu saja. Taku padaku? Itu lucu bagiku. Alasan mereka? Entahlah. Aku tidak punya otot untuk menyambangi laki-laki, aku juga tidaj cukup cerewet untuk mengomel pada perempuan. Mungkin. . . Arrna kekuasaan nenekku? Atau sikap dinginku?

Dinza tidak ikut bersamaku. Kudengar ayahnya baru saja masuk runah sakit, karena menderita komplikasi. Sungguh, aku tidak kuasa melihat wajah lesunya saat menerima telpon dari ibunya. Terpukul memang, apalagi jika orang tersebut adalah mereka yang kamu cintai. Aku pun merasakan beban yang dipikul Dinza.

Tanpa gndengan Dinza hari ini, aku merasa biasa saja. Karena, hari-hari sebelumnya aku memang terbiasa tanpanya. Alasanku? Aku tidak mau memupuk perasaan ini untuknya. Aku tidak ingin itu terjadi, itu akan berat untukku.

"Key!"

Aku memalingkan wajahku ke ke belakang. Wajah ramah itu, menyapaku. Bibir tipis itu melengkung dan menapakkan gigi putih dan rapinya itu. Manis. Pikirku.

Ah! Apa sih Key! Harus berapa kalo lagi memujinua seorang Wina? Hah! Dasar dungu. Telingaku mulai mendengar alunan desas-desus yang berbisik diantara kumpulan itu. Gosip baru? Aku yakin.

"Oh? Kenapa Win?" tanyaku menjaga sikapku.

Aku masih merasa canggung untuk bersikap ramah dengannya. Bagaimana mungkin secara tiba-tiba seorang preman IPS.9 menjadi anak yang baik dan ramah? Ga afa sejarahnya kali ya.

"Ga, gapapa. Lo udah sehat kan?" tanyanya yang kini berjalan beriringan bersamaku.

"Udah mendingan kok. Nih pegang aja jidat gue, udah ga panas lagi,"

"Ketinggian, gue ga nyampe buat megang jidat lo," sahutnya polos.

Aku meliriknya dari atas. Ah Wina! Kenapa kamu manis sekali?! Kembali bayang-bayang memori pupil matanya iti. Aku ingin melihat pupil itu lagi. Aku tidak bisa menahan detak jantung saat pupil mata itu membesar ketika terkunci dengam pupilku. Rasanya. . . Aku tidak bisa menjelaskannya.
"Yaelah. Tinggal bawa aja tangan lo ke jidat gue. Nyampe kok,"

"Heh! Bercanda kali. Gue ga sependek itu ys," kini dia membela diri.

Dia labil, atau sedang mngajakki bercanda? Justru candaannya itu membuatnya terhina secara tidak langsung. Dasar si jenius yang aneh.

"Eh skirt lo tuh, masa diatas lutut gitu," kataku mengejek rok nya yang kemungkinan 3 cm diatas lutut.

"Lo juga sama kali," dia memblikkan kalimatku.

"Tapi kan gue emang udah dari sononya kayak gini. Lah elu? Lo kan anak akademis yang jrnius. Masa iya tampang nerd gaya cabe,"

"Ah, udah ah. Demen banget ngejek orang pinter. Gue masuk kelas. Nih kelas gue disamping,"

Akhirnya kami menghapus percalapan yang cukup membuatku semakin nyaman dengannua. Please Win! Jangan buat gur bimbang dan terlihat bodoh di depan orang banuak. Lo harus tanggung jawab udah buat gue gabisa kasar lagi ke lo! Aaaah!

Semua mata pelajaran kulalui dengan tidak sabaran. Aku telah membuat janji dengan Wina. Memintanya menemaniku ke pantai saat pulang sekolah, dan tentu dia menyetujuinya.

"Lo kalau ga berani naik motor, pegangan gue aja ya;" kataku sambil memasangkan helm di kepalanya.

"Jangan ngebut pokoknya! Tau lo bawa motor, mending deh gue nolak," jawabnya jutek.

Yatuhan, kenapa wajah ini membuatku gemas? Dia bahkan membuatku merasa semakin bersalah karena pernah berlaku diluar batas padanya. Ah, tapi apa dauaku? Dia sendiri jiga melawanku, jadi sepenuhnya bukan salahku kan? Iya kan? Ayolah seseorang katakan ya!

"Yausah, pegangan aja kali. Gausah sok nolak. Bilang aja lo pengen jalan sama gur kan," jawabku yang kini sudah melajukan motor keluar dari lingkungan sekolah.

Banyak pasang mata yang menatap kami dengan anrh. Mungkin merrka berpikir aku sudah tobat? Tobat?! Apa ifu? Mutahil.

Perfect Badly (gxg) CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang