Arwan menatap langit senja yang terlihat cantik dengan goresan warna oranye yang berpadu indah dengan warna ungu yang gelap. Duduk di atas kursi rotan tua yang warnanya sudah memudar di depan teras rumah ditemani dengan secangkir teh hangat sambil menunggu malam tiba adalah kegiatan favorit Arwan baru-baru ini. Semenjak ia tinggal dengan Runa sejak seminggu lalu, dirasanya hari-harinya penuh dengan warna. Banyak tawa juga canda yang menghiasi hidupnya kini.
"Kakek!"
Arwan menoleh. Ia tersenyum ketika mendapati Runa yang kini berdiri di depan pagar pendek yang membatasi halaman dengan trotoar jalan. Anak perempuan itu tersenyum lebar sambil melambai-lambaikan tangannya kepada Arwan. Detik berikutnya, Runa kembali melangkah memasuki halaman rumahnya yang cukup luas.
Runa mengambil tempat duduk pada kursi rotan lain yang masih kosong. Persis di tengah-tengah mereka terdapat meja rotan kecil yang memisahkan dua kursi itu. Runa meletakkan sebuah kantung plastik yang sejak tadi ditentengnya ke atas meja, lalu segera menyobek paksa plastik itu, membuat isinya terlihat. Berbagai macam gorengan langsung menyembul keluar, membuat asap panas mengepul dari sana.
"Ayo dimakan, Kek!" serunya, yang langsung dijawab Arwan dengan anggukan.
Mereka berdua nampak begitu akrab dengan obrolan asyik sambil sesekali melempar canda yang selalu berhasil membuat tawa. Runa memang telah menganggap Arwan sebagai kakeknya sendiri. Begitu pula dengan Arwan, ia juga telah menganggap Runa sebagai cucu kandungnya sendiri.
"Hari ini Runa libur kerja ya?" tanya Arwan memecah suasana hening di antara mereka, membuat Runa-yang sedang menggigit bakwan-menoleh lalu tersenyum padanya.
"Nggak, Kek. Hari ini kan, hari sabtu.. sekolah libur. Jadi, Runa masuk shift kerja dari jam delapan pagi sampai jam lima sore."
Arwan mengangguk paham. Ia sudah tahu, anak perempuan itu sudah menjelaskan bahwa dia sekolah sambil berkerja. Dia juga sedikit banyak sudah bercerita tentang hidupnya yang bisa dibilang tidak mulus, bahkan terlalu banya rintangan.
"Jadi... sejak kapan Ayahmu hilang?"
Pertanyaan Arwan barusan berhasil membuat separuh pikiran Runa melayang. Ayah, ayah, ayah... seperti sudah sangat lama Runa tidak melihat sosok itu. Kini berbagai pertanyaan yang pernah muncul di pikirannya dulu, kembali terngiang. Pertanyaan seperti; bagaimana kabar ayah, dimana ayah tinggal, apa ayah makan dengan baik, dan berbagai pertanyaan sarat kekhawatiran lainnya-memekik kembali hingga mengoyak pertahanannya akan rasa rindu sekaligus kesedihan yang sudah cukup lama ia simpan rapat-rapat.
"Sudah hampir empat bulan lalu, Kek." Jawab Runa lirih. Pandangannya menatap lurus pada semak belukar di depannya. "Padahal, Runa sudah berusaha melapor polisi atas kasus orang hilang, menyebar selebaran, sampai memasang iklan. Tapi... sampai sekarang, Ayah nggak kunjung ditemukan." Suaranya terdengar parau di telinga, membuat Arwan seketika menoleh padanya, dan di detik itu juga ia melihat air mata yang mengalir di pipi anak perempuan itu.
"Sekarang, Runa hanya bisa pasrah tentang keberadaan Ayah, Kek. Runa selalu berdo'a buat Ayah, semoga dia selalu sehat dan baik-baik saja di mana pun Ayah berada. Walau Runa rindu Ayah, tapi Runa nggak akan banyak berharap kalau Ayah akan kembali bersama Runa." Tubuh Runa bergetar. Seketika itu pula terdengar sedu sedan dari wajah yang kini tertutupi oleh telapak tangan itu. Runa menangis.
Arwan benar tak tega mendapati anak perempuan yang sudah ia anggap sebagai cucunya sendiri itu menangis dengan isakkan yang mengiris hati. Ia tahu benar bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang begitu berarti di hidupnya. Ayah bagi Runa, mungkin bisa dipadankan dengan istri bagi Arwan. Ia pernah merasakan kehilangan yang begitu dalam saat istri tercintanya meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya beberapa tahun lalu. Rasanya begitu menyakitkan, sakit sekali. Sampai sekarang pun, Arwan tak bisa lupa bagaimana rasa sakit itu.
Arwan mendekati Runa lalu merengkuh tubuh anak perempuan itu. "Sudah, sudah.. cucu Kakek tidak boleh menangis seperti ini." Katanya menenangkan sambil mengelus kepala anak perempuan itu lembut. "Cup, cup, cup... jangan menangis lagi ya.." Arwan menjauhkan tubuh Runa sedikit darinya, membuat kepala Runa yang awalnya tenggelam dalam dada Arwan terangkat. Mata anak perempuan itu sudah merah dan basah. Arwan bisa melihat, Runa pasti sangat terluka karena kehilangan ayah tercintanya.
"Runa," panggilnya lembut, membuat anak perempuan itu menatapnya sambil terus berusaha menghapus sisa air mata di pipinya. Arwan tersenyum lembut, lalu mengelus rambut Runa dengan sayang. "Runa mau nggak, kalau Kakek bantuin Runa cari Ayah?"
Runa menghentikan usapan tangan di pipinya seketika dan hanya menatap lurus mata Arwan lekat-lekat. "Kakek... mau bantu Runa?" tanyanya ragu-ragu, namun langsung dijawab Arwan dengan sebuah anggukan, yang membuat anak perempuan itu tersenyum lebar.
"Terima kasih, Kek.."
Arwan mengangguk. "Sama-sama, Sayang. Tapi... Runa mau kan, tinggal sama Kakek?"
"Pasti mau dong, Kek! Kakek kan, Kakek Runa!" serunya sambil tersenyum lebar.
"Runa mau, tinggal bersama di rumah Kakek?"
Runa mengerutkan keningnya. "Rumah Kakek?" ulangnya. "Bukannya, Kakek nggak punya rumah?" tanyanya ragu.
Arwan tersenyum tipis, mengingat kebohongannya waktu itu. Dulu, dia memang ingin melarikan diri dari keluarganya dan tinggal di rumah kecil ini bersama Runa sampai akhir waktu senjanya. Tapi sekarang pikirannya berubah. Ia ingin membantu anak perempuan ini mencari ayahnya, dan satu-satunya cara adalah kembali ke rumah itu dan tinggal di sana.
"Kakek?"
Suara Runa membuyarkan lamunan Arwan. Anak perempuan itu ternyata masih menatap penuh tanya ke arahnya, seakan benar-benar butuh penjelasan. Arwan berdeham. Walaupun tidak tahu akan menjelaskan dari mana, namun ia akan tetap menjelaskan perihal kebohongannya tempo hari.
"Sebenarnya, Kakek punya rumah dan keluarga. Tapi, mereka nggak ada satu pun yang peduli sama Kakek. Mereka sibuk dengan segala aktifitas mereka sampai-sampai Kakek merasa terbuang dan memutuskan untuk pergi. Dan saat bertemu sama kamu, Runa, Kakek baru bisa kembali merasakan rasanya dipedulikan dan diperhatikan. Maka itu, Kakek bersikeras tinggal sama kamu di rumah ini dan nggak mau kembali ke rumah itu." jelasnya panjang-lebar, "Tapi... sekarang, Kakek mau kembali ke rumah itu untuk bantu menemukan Ayah kamu, Runa. Di rumah itu banyak orang dan alat canggih yang bisa bantu Kakek agar cepat menemukan Ayahmu. Karena empat bulan itu bukan waktu yang sebentar, maka kita harus cepat menemukan keberadaan ayahmu, Runa."
Runa tertegun. Ia merasa apa yang Arwan barusan katakan itu ada benarnya. Empat bulan bukan lah waktu yang sebentar, dan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi pada ayahnya kalau ia tak segera menemukannya. Runa rindu ayah, sangat. Runa ingin melihat ayah dan memanggil panggilan itu lagi seperti dulu, beberapa bulan yang lalu-saat ayah masih bersamanya.
"Runa,"
Suara Arwan menyadarkan Runa. Pria tua itu menatapnya lekat. Dari jarak sedekat ini Runa baru sadar, Arwan mungkin benar-benar sudah tua karena kulit berkeriput dan uban yang hampir memenuhi kepalanya.
"Runa... mau kan, tinggal di rumah Kakek untuk mencari Ayah Runa?"
***
Runa menarik resleting ransel biru tuanya hingga tertutup sempurna. Dia sudah memustuskan sebuah keputusan untuk tawaran Arwan itu. Kedua tangannya terjulur pada pigura kayu berukuran sedang yang memajang selembar foto yang menampilkan kedua wajah dengan senyum yang sama-sama mengembang. Aruna dan ayah. Ayah terlihat begitu bahagia dengan Runa kecil yang berada di gendongannya.
Dalam waktu satu detik, Runa berhasil merengkuh pigura itu ke dalam pelukannya. Ia menghela napas dalam-dalam sambil memejamkan mata dengan penuh perasaan. Senyum tulus mengembang cantik di bibirnya.
"Ayah... tunggu Runa, ya.. Runa akan jemput Ayah," ujarnya lirih sambil terus merengkuh erat pigura dalam dekapannya.
Dalam hatinya kini ada suatu harapan yang muncul dan tumbuh. Harapan yang selama ini ia anggap sudah tenggelam, kini sudah kembali dan muncul lagi ke permukaan. Do'a yang diiringi dengan usaha pasti akan lebih mudah diwujudkan oleh Tuhan.
Dan kini, Runa akan melakukan dua hal itu.
* * * * * *
Ada komentar?
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Teen FictionSemenjak Ayahnya menghilang, Aruna tinggal sebatang kara. Mau tak mau, terpaksa atau tidak dia harus membiayai hidupnya sendiri. Lalu, pertemuan tak terduga Runa dengan seorang kakek tua bernama Arwan, seketika membuat hidup Runa berubah. Secara men...