Setibanya di rumah, Runa bergegas mengganti pakaiannya. Dengan pakaian sederhana yang ia miliki. Cukup kaos oblong polos dan celana training. Ia lantas pergi ke lantai dasar. Tepatnya menuju dapur.
Tadi saat baru tiba, Runa melihat ada seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk memotong sayuran di sana. Menyiapkan makanan.
Tentu saja Runa berniat membantu. Ia tak mungkin hanya berpangku tangan setelah menerima kebaikan-kebaikan di rumah ini. Setidaknya, ia ingin melakukan sesuatu yang baik untuk keluarga ini walaupun itu nilainya kecil dan tak terlihat.
"Permisi..."
Sapaan Runa membuat seorang wanita paruh baya menoleh. Runa tak tahu nama wanita itu. Yang ia tahu, wanita itu hanya disebut dengan sebutan "Bibi" saja.
"Iya, Non? Mau makan ya?"
"Ah, bukan, Bi. Aku nggak mau makan kok,"
Bibi itu mengernyit. "Terus ada apa Non? Butuh bantuan Bibi ya?"
"Nggak kok." Runa tertawa kecil. "Bibi lagi apa?"
"Masak, Non. Lihat nih ada sayur, Bibi juga lagi pegang pisau nih..."
Runa merutukki dirinya. Bisa-bisanya ia menanyakan hal tak penting seperti itu. Uh!
"Eh, iya. Maksud aku, Bibi lagi masak apa? Hehe..."
Bibi terlihat tersenyum. Senyumannya lembut, keibuan sekali. "Banyak, Non. Rupa-rupa. Soalnya penghuni rumah ini kesukaannya beda semua,"
Runa mengangguk. "Boleh nggak aku bantu? Aku jago masak loh, Bi!"
"Nggak usah, Non. Nona Runa duduk aja sambil nonton tivi atau santai-santai aja di kamar, sebentar lagi juga masakannya jadi."
"Aku maksa loh, Bi. Gimana?" Kata Runa yang membuat Bibi tertawa.
"Yaudah, kalau maksa mah. Tapi kalau dimarahin Tuan Arwan gimana?"
"Nggak, Bi. Percaya sama Runa." Ia tersenyum dengan penuh percaya diri. Yang membuat Bibi mau tak mau tersenyum karenanya.
***
Sore ini setelah membantu Bibi memasak, Runa memutuskan untuk bersantai sejenak di atas kursi di halaman belakang yang terdapat kolam renang di sana. Nyatanya masakan rupa-rupa itu memang sangat rupa-rupa seperti pengakuan Bibi kepadanya di awal tadi. Baginya, Bibi itu wanita super yang bisa memasak dengan menu sebanyak itu dalam sekali masak. Belum-belum menu masakan pagi dan malam itu berbeda.
Ya, saat memasak bersama tadi, Bibi bercerita. Katanya, kebiasaan keluarga ini adalah tak makan siang. Hanya ada sarapan dan makan malam. Menu makan malam pun harus sesuai dengan selera tiap-tiap anggota keluarga di sini. Maka tak heran kalau Bibi bisa membuat lima menu berbeda dalam sekali memasak.
Untung saja tugas Bibi hanya juru masak, jadi tak terlalu berat sepertinya. Tak terbayang oleh Runa jika Bibi selain memasak juga harus mengurus rumah. Apalagi rumah sebesar ini. Pasti akan capek sekali!
Runa tahu ada orang-orang yang mengerjakan pekerjaan rumah ini. Mengurus kebersihan rumah, keindahan rumah dan lain sebagainya. Entah ada berapa orang. Tapi tadi ia sepertinya melihat seseorang wanita lagi yang sedang mengurus cucian di ruang cuci. Sayangnya, Runa tak tahu namanya.
"Kakak ini benaran temannya Kakek?"
Seorang anak lelaki kecil menatapnya sambil memeluk bola. Itu Aska. Anak kecil tampan yang pernah ia temui.
Runa pun mengangguk. Ia tersenyum.
"Nama Kakak siapa? Aska lupa," katanya polos.
"Runa. Kak Runa,"
"Oh... Kak Runa..." Aska mengangguk-angguk. Poni lurusnya bergerak-gerak lucu. Membuat Runa tersenyum lagi.
"Aska mau main bola ya?" Aska mengangguk. "Kalau main sama Kak Runa, Aska mau nggak?"
Aska mengangguk lagi. Kali ini lebih antusias dari sebelumnya. Ia bahkan sampir tersenyum lebar.
"Kalau gitu, ayook!!" Ajak Runa penuh semangat. Bagaimana pun, Runa sangat menyukai anak kecil.
Begitu pula dengan Aska.
***
Ziel menguap lebar sambil membuka pintu geser kaca di balkon kamarnya. Ia baru bangun tidur. Sepulang dari sekolah tadi entah mengapa rasanya ia sangat mengantuk hingga akhirnya ketiduran saat ia baru merebahkan diri di atas kasur seraya memainkan ponselnya.
Lalu, ia terbangun. Suara teriakkan Aska yang riang itulah yang membuatnya terbangun. Aska memang suka bermain sendiri. Tapi baru kali ini suaranya begitu riang. Apalagi tawanya itu, sangat renyah dan nyaring terdengar telinga. Karena penasaran akan hal asik apa yang dilakukan Aska, akhirnya Ziel membuka pintu balkonnya dan ingin melihat adik bungusnya dari sana.
Lagi, anak perempuan itu lagi. Aruna.
Runa sedang bermain lempar bola dengan Aska. Bola ringan tapi dijadikan mereka sebagai bola basket. Anak perempuan itu mengajarkan Aska cara melempar bola itu ke ring yang biasa Ziel gunakan saat latihan basket. Sesekali Runa melemparkannya, lalu (ia yakin--pura-pura) meleset dari ring. Dan hal itu membuat Aska tertawa riang saat ia berhasil mengalahkan lemparan Runa yang selalu meleset.
Ziel menghela napas. Sesaat ia memikirkan siapa sebenarnya Aruna. Tentang sikapnya, sifatnya dan kepribadiannya juga tujuannya berada di rumah ini yang selalu membuat Ziel bertanya-tanya.
Kalau dilihat dari penampilannya; kaos oblong biasa dan celana training panjang. Sangat sederhana, menurut Ziel. Begitu pula dengan sepatu usang yang dipakainya hari ini. Mengingat itu, penilaian Ziel mengenai Runa yang matre terasa mengabur. Tak jelas lagi. Bahkan ada rasa ragu di dalam hatinya. Apa mungkin anak perempuan sesederhana itu mengincar harta Kakeknya?
"KAK ZIEL!! NGAPAIN?!" Teriakkan Aska membuat Ziel tersadar. Ia lantas tersenyum pada adik kecilnya itu. Ia melambaikan tangannya. "AYO IKUT MAIN?!" ajak Aska.
Ziel hanya tersenyum. "Nggak. Aska aja. Kakak masih pusing, baru bangun tidur."
"OH, KAKAK BARU BANGUN TIDUR YA?" Aska berteriak lagi. Padahal tanpa berteriak pun sebenarnya masih bisa kedengaran.
"IYA, ASKA KAK ZIEL BARU BANGUN!" Balas Ziel mengikuti suara Aska. Yang malah membuat Aska tertawa.
"YAUDAH, KAK ZIEL LIHATIN ASKA MAIN AJA YA!!" Seru anak berumur empat tahun itu.
"IYAAA!!" Teriak Ziel tak mau kalah.
Dari tempatnya, Runa tersenyum melihat obrolan kakak-adik itu. Menurutnya, interaksi antara Ziel dan Aska itu sangat lucu.
Ziel yang melihat Runa tersenyum langsung menatapnya tajam. Sampai anak perempuan itu tersadar telah ditatap dengan mata tajamnya, tapi bukannya membringsut takut. Runa malah melebarkan senyumnya.
Ziel bingung apa maksud senyuman itu. Padahal ia sudah berusaha bersikap sinis, tapi mengapa responnya lagi-lagi tak seperti harapannya?!
Runa kembali bermain dengan Aska. Aska masih tertawa dengan riang. Aska seakan sangat bahagia saat bersama Runa. Padahal setahunya anak kecil itu cukup tertutup dan sulit didekati. Tapi dengan Runa?
Seorang wanita muda yang Ziel tahu adalah pengasuh Aska memberitahu Aska akan waktu yang telah sore dan waktunya Aska mandi. Seperti biasa, anak kecil itu penurut. Maka itu, Aska langsung menyudahi permainannya dengan Runa. Ziel bisa melihat, Runa mengangguk mengiyakan lalu tersenyum.
Dan ketika tatapan matanya bertumpu dengan mata anak perempuan itu, Ziel tetap menatapnya. Kali ini tak ada aura sinis darinya. Ia hanya ingin melihat bagaimana sesungguhnya anak perempuan itu melalui matanya. Sampai berdetik-detik berlalu dan ia masih menatap mata Runa yang juga terarah padanya. Lalu, ketika Runa tersenyum padanya...
Dengan cepat Ziel mengalihkan pandangannya. Atau lebih tepatnya ia buang muka. Kemudian berbalik pergi. Berusaha mengabaikan meski hatinya telah tersentuh.
♡♡♡
Terimakasih udah baca!
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Teen FictionSemenjak Ayahnya menghilang, Aruna tinggal sebatang kara. Mau tak mau, terpaksa atau tidak dia harus membiayai hidupnya sendiri. Lalu, pertemuan tak terduga Runa dengan seorang kakek tua bernama Arwan, seketika membuat hidup Runa berubah. Secara men...