Empat

768 70 7
                                    

Suasana ruang makan kali ini terselimuti oleh aura tegang yang begitu memekat, setidaknya untuk Runa. Anak perempuan itu mungkin memang baru pertama kali duduk di atas kursi makan yang bersanding dengan meja makan panjang yang terkesan mewah. Apa lagi ditambah dengan hidangan super lezat yang disajikan oleh beberapa pelayan berseragam hitam-putih.

Runa menggigit bibirnya ketika air di dalam gelasnya sudah habis tak bersisa. Ia baru akan meraih teko berisi air putih terdekat, namun seorang pelayan dengan tangkas mengisi penuh gelasnya. Runa terperangah, dia sedikit canggung mendapat perlakuan itu. Rasanya aneh, jika dilayani seperti ini.

"Terima kasih," Runa menyunggingkan senyum lebar kepada pelayan itu yang hanya dibalas dengan sebuah anggukan.

Ziel yang melihat kecanggungan itu langsung mendengus, "Norak." Cibirnya dengan suara rendah, seperti bisikan.

Namun, tetap saja bisa didengar Runa dari jarak yang memang sedekat ini-Runa duduk tepat di samping Ziel. Di tempatnya, Runa hanya tersenyum kecil.

Seusai makan malam, Arwan meminta seluruh keluarga Wardhana (termasuk Runa) untuk membicarakan sesuatu di ruang keluarga. Di sana sudah lengkap dengan adanya Arwan, Fazria beserta suaminya, Tama, dan juga kedua anak laki-lakinya sudah memenuhi sofa mewah itu. Hanya Runa yang masih berdiri di sisi sofa single yang Arwan duduki. Terus terang, sampai saat ini Runa masih asing terhadap rumah dan keluarga ini. Dan, hal itu membuatnya harus bisa menjaga sikap.

"Runa, duduk di sini, Sayang." Arwan menepuk sebuah kursi bundar di samping sofa yang ia duduki.

Runa tersenyum dan segera menduduki kursi tersebut. Ia duduk tegap dengan penuh ketegangan. Entah mengapa, ia merasa dirinya saat ini sedang diperhatikan lekat-lekat oleh beberapa pasang mata yang ada di sana.

"Jadi.. selama ini Papa tinggal di mana? Mengapa kami sulit menemukan Papa, padahal Tama sudah mengerahkan hampir semua ajudan Tama untuk mencari Papa. Tapi, lagi-lagi Papa nggak bisa ditemukan," Tama memandang Arwan dengan sorot mata khawatir. Runa juga bisa melihat jelas sorot kekhawatiran itu di sana. Dan, saat ia melirik sosok di sebelahnya, lagi-lagi ekspresi datar lah yang didapatnya.

"Sudah lah, Tama. Tidak usah bahas masalah yang sangat tidak penting! Sekarang ada masalah yang lebih penting!" sahut Arwan ketus. Sorot matanya tajam menatap sosok yang duduk berhadapan dengannya.

"Masalah apa, Pa?"

"Runa," jawab Arwan, membuat anak perempuan di sampingnya langsung menatapnya. "Saya minta, daftarkan Runa ke sekolah yang sama dengan Ziel."

Kontan, mata Ziel membulat lebar. Tidak bisa dipercaya! Permintaan kakeknya semakin aneh saja! Sore tadi, beliau meminta anak perempuan itu tinggal di rumah mereka sampai-sampai diberikan kamar pribadi. Dan sekarang, kakeknya itu meminta kepada papanya untuk mendaftarkan anak perempuan itu ke sekolah yang sama dengannya?!

Tama tersenyum lembut, "Iya, Pa. Tenang aja, lusa nanti dia pasti sudah bisa bersekolah bersama Ziel. Tama bisa pastikan, Pa.."

Arwan mengangguk-angguk. "Bagus," pujinya kepada Tama. Lalu pandangannya berpaling pada sosok di sebelah Tama. "Ziel, mulai sekarang anggap Runa ini sebagai saudara kamu sendiri! Karena mulai sekarang, Runa adalah cucu perempuan Kakek!"

"Kek! Kakek jangan bercanda deh," sergah Ziel dengan tatapan tak percaya. Begitu pula dengan Fazria, wanita itu sungguh sulit mencerna perkataan papa kandungnya barusan.

Sulit diterima bahwa papanya mengangkat dan mengakui orang lain yang asing sebagai cucunya sendiri. Bahkan, ia sendiri juga telah memiliki dua orang anak yang seharusnya sudah lebih dari cukup untuk papanya.

"Iya, Pa.. jangan gegabah ambil keputusan sepihak begitu. Kita bisa diskusikan masalah pengangkatan cucu ini, kan?" Fazria sudah membuka suara.

"Gegabah? Siapa yang gegabah?!" Arwan memicingkan mata, menyorot sosok wanita di depannya tajam, "Kamu jangan sok tau! Selama ini, aku sudah berpikir, dan tetap saja hasilnya akan sama. Runa adalah cucuku! Titik!"

Dan, penegasan itu tak akan terbantahkan lagi. Karena semua bibir yang ada di ruangan itu seluruhnya sudah terkunci rapat-rapat.

***

Runa mengamati pantulan diri dari cermin di depannya. Sosok anak perempuan berambut hitam pekat yang dikuncir ekor kuda tinggi dengan poni lurus yang menutupi dahi tampak dengan seragam yang elegan dengan rompi biru dongker dan rok kotak-kotak merah yang panjangnya hanya sebatas lutut. Rok seragam ini cukup pendek untuk Runa yang biasa mengenakan rok yang panjangnya sampai mata kaki.

Tangannya memegang logo yang menjadi identitas sekolah yang terdapat di dada atas sebelah kiri rompi. Logo berbordir rapih yang sangat unik. Warna benangnya keemasan berpadu dengan silver mengilap yang begitu berkelas.

Runa mendesah dalam hati. Ada beribu kekhawatiran di benaknya yang muncul semenjak Arwan memindahkan sekolahnya. Ia tahu, Arwan menginginkan sekolah dan fasilitas yang terbaik untuknya, maka itu ia memutuskan untuk memindahkan sekolah Runa yang awalnya di SMA negeri biasa ke SMA swasta elit berstandar internasional. Itu bukan berita baik untuk Runa. Pindah ke sekolah elit pasti lebih susah beradaptasi dibanding dengan sekolah lamanya.

Tuk! Tuk!

Tatapan Runa berpaling dari cermin kepada pintu kamar bercat putih bersih yang tertutup rapat. Segera ia masukkan peralatan sekolah yang sudah ia siapkan sejak semalam ke dalam tas ransel usangnya. Sebenarnya Arwan telah memberikannya peralatan sekolah berserta tas mahal untuknya. Bukannya tak suka, tapi hanya saja tas usangnya itu adalah pemberian sang ayah. Ya, tas yang dibelikan ayah dengan peser demi peser uang yang ia kumpulkan dari hasil kerjanya yang tidak seberapa.

"Nona Runa, sudah siap kan? Tuan Arwan sudah menunggu Nona di bawah."

Dengan langkah secepat kilat, Runa langsung membuka pintu kamarnya dan menemukan Yuta-salah satu pelayan di rumah ini-yang baru ia kenal dua hari lalu. Yuta tersenyum lembut menyambut Runa yang baru saja keluar dari dalam kamar, membuat anak perempuan itu langsung membalas senyum yang tak kalah lembutnya.

"Semuanya sudah menunggu Nona di bawah. Mari Nona, saya antar."

Runa mengangguk dan segera mengekor Yuta yang memimpin jalan menuruni anak-anak tangga yang melingkar. Runa mengeratkan pegangannya pada tali tas ranselnya, mencoba menutupi kegugupan dan kecanggungan luar biasa kepada seluruh anggota keluarga Arwan. Terutama Fazria dan Ziel. Karena mereka berdua lah yang sepertinya tidak menyukai kehadiran Runa, terlebih menentang kehadiran anak perempuan itu dengan sorot mata tajam atau sikap sinis yang mereka hadiahkan tatkala sedang berpapasan.

Senyum Runa tersungging manis tatkala ia melihat Arwan sedang tersenyum lebar memandangnya yang sedang menuruni tangga. Langkahnya dipercepat secepat yang ia bisa, dihampirinya Arwan untuk menipiskan jarak di antara mereka.

"Sudah siap sekolah?" tanya Arwan dengan senyum cerah, yang langsung ditanggapi Runa dengan anggukan antusias.

Arwan tersenyum lebar melihat anak perempuan di depannya tampak begitu bahagia dan antusias. Pilihannya memang tidak salah. Memindahkan sekolah Runa memang pilihan terbaik untuk masa depannya, terlebih dia bahagia.

Sementara itu di sisi lain, Ziel memutar bola mata. Dia terlihat bosan dengan pemandangan yang ada di depannya. Seorang kakek dengan cucu perempuan angkat yang sedang bertukar senyum, entah mengapa menjadi pemandangan dramatis yang begitu memuakkan.

"Mau berangkat jam berapa? Ini udah hampir jam setengah tujuh." Suara Ziel yang lebih terdengar seperti sebuah sindiran menginterupsi semua orang dalam ruangan itu.

Arwan yang sadar, hanya melirik sekilas padanya dan kembali menatap Runa. "Di hari pertama ini, kamu berangkat bersama Ziel ya.. anggap saja dia seperti saudaramu sendiri. Dia yang akan manjaga kamu selama di sekolah nanti."

Runa tersenyum simpul menanggapi ucapan Arwan barusan yang terdengar begitu hangat di telinga. Tapi, ia harus segera sadar. Di tempat ini, hanya ada Arwan seorang lah yang mengharapkannya. Selebihnya, tidak. Begitu pula dengan anak laki-laki yang kini tengah menyorotnya dengan tatapan sinis. Walau ia tidak tahu benar apa salahnya hingga membuat anak laki-laki itu begitu menatapnya penuh benci dengan tingkat kekesalan yang tinggi, namun Runa akan tetap berusaha untuk tidak membalas dengan hal yang sama.

Runa menoleh pada Ziel yang sejak tadi berdiri diam di dekat pintu. Dia tersenyum lembut, membuat Ziel mengerutkan kening heran. "Ayo, Ziel, kita berangkat!"

***
Gapapa slowly tp lancar yaa updatenya hoho~

ARUNA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang