Delapan

201 26 0
                                    

Entah sudah ke berapa kalinya Ziel menghela napas. Wajahnya sudah malas. Ia lelah.

Diliriknya kaca spion itu. Tapi tanda-tanda anak perempuan itu belum terlihat juga.

Andai saja itu bukan karena kakeknya yang meminta, ia juga tak akan mau repot-repot menunggu anak perempuan itu seperti sekarang.

Ziel berdecak. Kesal. "Ngerepotin aja sih bisanya!!"

Ingin rasanya ia menelepon anak perempuan itu dan menanyakan keberadaannya. Untuk sekali ini ia menyesal tak mau menyimpan nomor ponsel gadis itu. Hah, rasanya sungguh mati bosan ia menunggu begini. Bahkan lima menit lagi sudah genap jadi satu jam!

Sekali lagi, ia perhatikan kaca spion itu berharap anak perempuan berponi lurus dan bertas ransel biru itu akan segera keluar dari sana. Dan, pada akhirnya anak perempuan itu terlihat juga. Seperti dugaannya, Runa berjalan sendiri menuju halte bus di ujung jalan sana. Langkahnya gontai. Sesekali ia bahkan menendang batu kerikil dengan sepatu usangnya. Namun baru beberapa langkah seorang anak lelaki terlihat memanggilnya, Runa bahkan sampai menengok ke belakang.

Alis mata tebal Ziel bertaut. Ada sebersit rasa penasaran tentang mereka. Tentu saja Ziel mengenal jelas anak lelaki itu. Caraka, si anak Jaksa yang sukanya memberontak. Meski tak dekat, tapi setidaknya Ziel tahu siapa itu Caraka.

Dari kaca spion itu terlihat Runa menanggapinya. Ziel merasa sangat heran saat Raka meneriakkan nama Runa sambil menarik tas renselnya ketika Runa hendak pergi melanjutkan langkahnya yang tadi terhenti. Kerutan di dahi Ziel kian dalam. Dan pertanyaan itu muncul; sejak kapan mereka menjadi seakrab itu?

***

"Oi. Runa!"

Entah kenapa anak lelaki itu jadi mengikutinya begini. Padahal sesaat sebelumnya ia terlihat normal-normal saja dengan sedikit bicara. Dan sekarang anak lelaki itu malah memanggil-manggil namanya terus.

Runa menghentakkan kakinya. Letih juga ia mendengarnya. Akhirnya ia menoleh ke belakang, tepat di mana anak lelaki itu berada.

"Aku naik bus!" Katanya cepat.

"Nebeng gue aja sih. Irit!"

"Makasih, Raka." Runa tersenyum. Cukup sedetik. Lalu wajahnya berubah datar.

"Sama-sama." Seperti mencontoh Runa, Raka melakukan hal yang sama. Tersenyum sedetik lalu menatap datar.

Runa mengernyit. Lalu memandang aneh anak lelaki itu. Ia menggeleng sesaat sebelum berbalik dan melanjutkan langkah yang sempat terhenti.

Namun, baru satu langkah. Tubuh Runa tertahan. Ada tarikan kuat dari belakang punggungnya. Tasnya ditarik dengan sengaja. Runa tahu betul itu. Ia mendengus. Kesal!

"ARUNA!!"

Runa memutar bola matanya jengah. Enggan menoleh ke belakang. "Apa lagi?!"

"Hati-hati." Ucapan Raka yang berubah pelan itu membuat Runa menoleh. Ia melihat anak lelaki itu tersenyum begitu melepas cekalan dari tas ranselnya.

"Sampai ketemu besok?! Gue duluan." Raka mengacungkan telapak tangannya ke udara sambil berjalan mundur. Lalu perlahan berbalik dan pergi dengan mobil Lexus hitam bersama seorang supir yang sudah lama menunggu di dalamnya.

Sembari menunggu kepergian anak lelaki itu bersama mobilnya. Runa tersenyum. Lucu. Harus Runa akui, meski agak menyebalkan tapi tingkah laku Raka membuatnya merasa nyaman berteman dengan anak lelaki itu.

Jadi, selain Rini, ada Raka yang menjadi temannya hari ini. Ternyata bersekolah di SMA elit begini tak seburuk yang Runa pikirkan.

Runa pun kembali melanjutkan perjalanannya. Menuju halte bus, kira-kira jaraknya 100 meter dari letak sekolah itu berada. Yah, mungkin butuh waktu lima menitan untuk berjalan ke sana.

"Tin! Tiiin!!"

Suara klakson mobil itu mengagetkannya. Dan, Audi R8 Coupé merah itu pun berhenti tepat di sampingnya.

Runa menoleh. Ia mengangkat alis matanya begitu sadar siapa pengendaranya.

"Ziel, belum pulang?!" Sesungguhnya itu pertanyaan yang ada dalam hatinya, namun entah mengapa tersuarakan.

"Naik!!" Titah Ziel tak terbantahkan. Membuat Runa menuruti perintahnya tanpa unsur menolak sedikit pun.

"Pasang seatbelt-nya!" Seru Ziel lagi. Dan Runa lagi-lagi langsung menurutinya.

Runa memandang Ziel dari samping. Rasa penasaran melingkupinya kini. Ia masih tak mengerti mengapa Ziel tiba-tiba berubah pikiran begini. Bukannya tadi pagi ia meminta tak akan mau berurusan dengan Runa? Lalu mengapa sekarang...

"Jangan ge-er dulu. Kalau bukan karena Kakek gue mana mau nungguin lo kayak gini."

Ah, begitu rupanya. Harusnya Runa bisa menduga itu. Bagaimana pun Ziel membenci Runa. Harusnya Runa sadar itu.

"Gimana rasanya sekolah di sekolahan elit? Enak?" Pertanyaan itu terdengar sarkastik. Tapi Runa malah tersenyum.

"Lumayan."

Ziel memutar bola matanya. Ia cenderung tak suka akan jawaban Runa barusan. Kata 'lumayan' berarti anak perempuan itu cukup menikmati berada di sekolah itu. Hah, padahal ia bukan siapa-siapa!

"Seneng ya bisa punya temen anak orkay? Bisa diporotin deh,"

Seketika senyum di wajah Runa lenyap. Entah kenapa kali ini ia sungguh tersinggung akan ucapan itu. Padahal bukan sekali dua kali ini Ziel berkata kasar padanya, tapi kali ini rasanya keterlaluan.

Sabar. Hanya itu yang ia rapalkan dalam-dalam di hatinya. Ziel berkata begitu karena tak mengenalnya dengan benar. Ziel tak tahu siapa itu Aruna. Makanya ia bisa berkata begitu. Yah, pikirannya membenarkan apa yang hatinya katakan. Ziel tak kenal siapa dirinya.

Tapi, bagaimana kalau ia menanggapinya seperti...

"Yaaahh, lumayan!" Katanya sambil menunjukkan senyuman hingga deretan gigi rapihnya terlihat.

Ziel menatap heran wajah ceria yang ia lihat barusan. Bisa-bisanya anak perempuan itu berkata begitu. Seakan bangga dan bahagia dengan kalimatnya, padahal kalimat itu bertujuan untuk menyindirnya.

Bahkan ketika Ziel menanyakannya soal sepatu usangnya tadi pagi, anak itu bersikap naif dengan berkata sepatu bututnya masih bagus. Lalu sekarang, ia bilang rasanya lumayan bisa memoroti.

Hah, dasar aneh!

Sekarang satu keyakinan Ziel. Benar, anak perempuan itu murni matre. Ia hanya ingin harta kakeknya saja. Ia ingin memporak-porandakan hidup keluarganya dengan memanfaatkan kakeknya yang naif. Ia sungguh tak tahu diri!

Cekalan tangan Ziel pada stir mengetat. Kekesalannya sudah menguap setengah mati. Andai Runa itu lelaki, bogeman mentah pasti sudah mendarat pada wajah sok tak berdosa itu bertubi-tubi.

Kalau saja bukan karena Kakek!

ARUNA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang