Sepuluh

182 24 1
                                    

"Runa, bagaimana sekolahnya?"

Suara Tama yang begitu ramah membuat Runa mendongakkan kepalanya mengalihkan pandangannya pada sepiring nasi berserta lauk pauk di depannya.

"Menyenangkan, Oom."

"Syukurlah..." ujar Tama. Tersenyum.

"Runa sudah punya teman di sekolah?" Tanya Arwan kemudian.

Runa dengan cepat mengangguk. "Pasti dong, Kek!"

Arwan tersenyum senang. Entah mengapa perasaannya hangat ketika melihat anak perempuan itu tersenyum padanya seperti itu. Rasanya Arwan begitu menyayangi anak perempuan itu. Baginya Runa sungguh seperti cucu kandungnya sendiri!

Tatapan mata Arwan menitik. Terfokuskan pada warna merah tua dengan goresan samar di tulang pipi Runa. Arwan mengernyit ketika menyadarinya.

"Pipi Runa, kenapa?" Tanya Arwan. Runa langsung terkesiap mendengarnya. Anggota keluarga lain ikut menatapnya kecuali Ziel yang hanya diam, fokus pada makan malamnya seakan tak tertarik.

"Ah, ini..." Runa tanpa sadar menyentuh tulang pipinya yang memar. Padahal sejak tadi orang-orang tak ada yang memperhatikannya. Apalagi lebam itu sudah mulai mengecil dibanding siang tadi di sekolah. Tetapi mata Arwan tetap bisa menemukannya. "Ini... karena nggak sengaja kepleset dan kena meja. Makanya jadi gini," Runa tahu ini ada dosa. Ia sudah bohong, ia tahu. Tapi bagaimana bisa ia menceritakan hal yang sebenarnya terjadi di hari pertamanya sekolah.

Arwan menatap mengiba. "Lain kali hati-hati, Runa. Bersyukur itu hanya luka kecil dan kamu tidak apa-apa."

"Iya, betul, lain kali kamu harus lebih hati-hati." Imbuh Tama.

Dengan gerak canggung Runa mengangguk. Lalu ia tersenyum. Sesungguhnya ia bahagia bisa berada di tengah-tengah mereka. Rasanya seperti mendapatkan perhatian keluarga besar yang utuh. Bahkan selama ini tak pernah ia bayangkan.

Karena dulu, hanya ada Runa dan... Ayah.

***

Usai makan malam, Runa lantas pergi ke dapur. Sementara seluruh anggota keluarga ini sibuk dengan urusannya masing-masing. Seperti Aska, anak kecil itu sedang sibuk mengerjakan PR-nya bersama sang Mama di ruang keluarga. Arwan? Sepertinya ia sedang membicarakan bisnis dengan anak menantunya, Tama. Lalu, Ziel... entahlah, Runa tak tahu pasti apa yang dilakukan anak lelaki itu di dalam kamarnya.

"Kamu ngapain?"

Itu suara Fazria, Mama Ziel dan Aska. Mendadak ia membeku. Dari semua anggota keluarga di sini, hanya Fazria yang ia segani. Tatapan mata Fazria yang tajam dan sedikit bicara itulah yang membuat Runa takut. Apalagi sering Runa dapati Fazria menatapnya sinis. Yah, Fazria memang tak suka dengan Runa. Sama seperti Ziel.

"Ah, maaf Tante..." hanya itu yang bisa Runa katakan.

Jantungnya berdegup cepat. Wajahnya menunduk. Jujur, ia sangat takut karena ini Fazria akan marah padanya.

"Kenapa minta maaf?"

Pertanyaan itu membuat Runa memberanikan diri mendongak, menatap Fazria yang memang sedang memandanginya heran.

"Jangan sampai pecahkan piring ya. Hati-hati." Kata Fazria sebelum beranjak pergi.

Meski tak ada senyum dari bicaranya tadi. Setidaknya, tatapan mata sinis itu sudah tak ada lagi ketika menatapnya tadi. Entah bagaimana hal itu bisa membuatnya bahagia.

Runa tersenyum.

***

Runa merebahkan dirinya ke atas ranjangnya. Rasanya letih juga setelah melalui hari ini. Untung saja tak ada pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan.

Tapi, tunggu dulu!

Runa lantas menggeser pintu kaca balkon. Membukanya. Kebetulan sekali balkon kamarnya bersebelahan dengan balkon kamar Ziel.

Dari posisinya, Runa mencoba melihat Ziel. Pintu balkonnya tertutup. Hanya terlihat siluet yang menggambarkan ia sedang melakukan sesuatu di meja belajarnya.

Runa penasaran. Apakah itu pekerjaan rumah untuk besok? Ah, salahnya ia lupa meminta nomor ponsel Rini atau Raka. Kalau saja ada, ia jadi tak usah bertanya pada Ziel.

"Ziel..." Runa mencoba memanggil nama itu. Meaki tak ada tanda-tanda responnya.

"Ziel," Masih sepi.

"Ziel," senyap.

"Zieeeelll..." sunyi.

Runa menghela napasnya jengah. Haruskah ia berteriak?

"ZIEEELL!!"

"APA!!!" balasan teriakkan itu membuat Runa berjengit.

Dengan aura kesal Ziel keluar menggeser pintu kacanya cepat dan menunjukkan dirinya pada Runa.

"Apa lo manggil-manggil??!!" Suaranya sangat-sangat sinis. Runa sudah menebak itu.

"Maaf... aku cuman mau tanya..."

"Tanya apa?!" Nada kesalnya masih sama. Aura wajahnya pun sinis. Yah, Ziel memang akan selalu begitu padanya.

"Besok ada PR? Aku lupa minta nomornya Rini atau Raka makanya aku tanya kamu..." ucap Runa hati-hati. "Maaf yaa ganggu,"

Ziel memutar bola matanya. Hanya pertanyaan sepele rupanya. "Nggak ada."

"Serius?"

"Nggak percaya?" Malah Ziel yang balas tanya. Runa hanya menatapnya, tak menjawab.

"Yaudah." Putusnya hendak berbalik kembali ke dalam kamar.

"Tunggu!!" Suara Runa berhasil membuat Ziel berhenti. Bahkan Ziel sampai menoleh. "Terus kamu lagi ngerjain apa? Tadi aku liat bayangan kamu lagi duduk di depan meja belajar."

Ziel mengernyit. "Apa kek, suka-suka gue!" Jawabnya sinis.

Respon sinis itu membuat Runa memanyunkan bibirnya tanpa sadar.

"Tapi bener nih yaa, besok nggak ada PR?" Tanya Runa memastikan. Sejujurnya Runa khawatir kalau-kalau Ziel bohong untuk mengerjainya.

Ziel mengangguk. "Gue nggak maksa lo buat percaya omongan gue. Kalau lo nggak percaya ya... terserah."

Runa menatapnya sesaat. "Aku percaya kok." Ia tersenyum.

"Yaudah." Ziel lantas berbalik masuk kembali ke dalam kamarnya. Lalu menutup rapat pintu balkonnya.

Runa menghela napas panjang. Sikap Ziel memang masih tak bersahabat dengannya. Ziel masih terlalu dingin. Tapi tak lantas membuat Runa menyerah. Es jika dihangatkan bukankah akan mencair? Begitu pula Ziel. Ia yakin itu.

Runa tersenyum tipis. Kemudian menutup pintu balkonnya rapat-rapat, mengikuti Ziel. Karena sudah saatnya untuk ia beristirahat sekarang.

♡♡♡

Post kedua!

Lunas yaa hutangku ;)

ARUNA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang