Sesuai janjinya sore tadi pada anak perempuan itu. Ziel duduk di atas kursi yang di atas mejanya sudah terdapat papan catur yang catur-caturnya belum di susun.
Ziel menghela napas. Padahal sebelumnya ia sudah menyetujui untuk ikut berpesta bersama Thomas dan Orland. Berniat melepas rasa kesal dan amarahnya yang tadi sempat tersulut. Tapi karena sore tadi anak perempuan itu menantangnya, menatapnya dengan tatapan meremehkan. Pada akhirnya ia duduk di sini.
Runa, anak perempuan itu baru meninggalkannya beberapa menit lalu untuk mengambil minum sebagai antisipasinya, berjaga-jaga kalau nanti mereka akan haus saat bermain. Karena sepertinya memang akan begitu, maka Ziel hanya membiarkannya, tak berniat untuk mencegah.
Tak berapa lama anak perempuan itu datang lagi dengan sebuah nampan yang di atasnya terdapat dua gelas minuman dingin berwarna oranye.
"Sori, lama!" Sapa Runa yang diabaikan begitu saja oleh Ziel.
"Bantu gue, rapihin. Oke?"
Ziel tak menjawab, tapi gerakkannya berkata kalau ia memang akan membantu Runa merapihkan catur-catur itu sesuai susunan.
Ziel mengernyit ketika menemukan Runa menyusun catur dengan susunan yang salah. "Bukan gitu nyusunnya. Ini tuh di sini," katanya sambil membenarkan posisi catur yang seharusnya.
Runa kembali menyusun caturnya. Tapi lagi-lagi kesalahan yang didapatnya. Padahal tadi sore ia sudah belajar memahami posisi catur-catur itu dari internet. Tapi ternyata banyak yang keliru.
"Lo nggak pernah main catur ya? Kok salah-salah terus sih?!" Sungut Ziel. Menyadari kesalahan Runa yang sudah lebih dari dua kali. Padahal ini hanya menyusun posisi caturnya berada. Pengetahuan dasar sekali!
"Itu karena udah lama nggak pernah main aja. Makanya lupa!" Runa beralasan.
Sejujurnya itu memang hanya alasan karena sebenarnya ia tak pernah tahu caranya main catur. Anggaplah ini adalah cara Runa belajar bermain catur. Lagipula ia memang anak yang cepat belajar, jika diajarkan sekali ia pasti sudah mengerti dan bisa.
Dan ketika semua sudah diatur rapih. Maka, permainan pun dimulai!
***
Menang dua kali, membuat Ziel menikmati jalan permainan itu. Ia sampai bersorak gembira ketika berhasil mengalahkan Runa yang ternyata cukup tangguh juga. Padahal awalnya anak perempuan itu terlihat amatir ketika memainkannya. Tetapi saat memasuki ronde kedua dan ia berhasil mengalahkan Ziel hingga skor mereka seri, satu sama. Itulah awal mula yang membuat permainan ini menjadi seru.
"Nggak seru kalau nggak ada hukumannya."
Apa yang diucapkan Ziel barusan membuat Runa mengernyit. Ia bingung akan maksud ucapan anak lelaki itu.
"Kalau kalah, harus ada hukuman dong!" Kata Ziel lagi.
"Apa hukumannya?"
"Corat-coret wajah yang kalah!" Usul Ziel. Ia tersenyum miring.
Sebenarnya Runa tak suka dengan ide itu, pasalnya dalam permainan ini ialah yang paling amatir dan sungguh ia yakin pasti ia akan sering dikalahkan. Tapi...
"Oke, deh!"
Dengan cepat Ziel pun berlari ke kamarnya untuk mengambil sesuatu di sana. Runa sempat berpikir benda apa yang akan digunakan Ziel untuk mencoret wajah itu. Dalam pikirannya hanya teringat akan bedak tabur karena memang biasanya benda itu yang aman digunakan. Tetapi mengingat kepribadian Ziel, apa mungkin anak lelaki itu akan menyimpan barang seperti bedak tabur? Runa tak yakin.
"Karena lo baru kalah, gue langsung coret muka lo ya?" Ziel mengatakannya sembari berjalan ke arah tempat duduknya semula. Ia tersenyum miring.
Runa menyipitkan mata, mencoba menangkap suatu benda kecil di sana. Apa yang Ziel pegang di tangan kanannya itu membuat Runa reflek menjauhkan wajahnya. Karena itu adalah... spidol!
"Tunggu!!" Runa langsung menahan tangan Ziel. "Kesepakatan dibuat setelah hasil kalah-menang keluar. Jadi, ini nggak sah! Kamu bisa nyoret mukaku kalau aku kalah lagi nanti!"
Penjelasan Runa membuat Ziel menurunkan tangannya dan kembali menutup spidol itu, rapat. Apa yang anak perempuan itu katakan benar. Yah, Runa memang tak bodoh buktinya ia bisa berada di peringkat dua di kelas. Sungguh, anak perempuan itu tak bisa dianggap remeh!
"Oke."
Permaian itu kembali dimulai. Sampai mengulang kali ketiga, tetap Runa yang mendapatkan coretan. Wajahnya kini bagaikan kanvas bergambar yang ditambahkan dengan coretan asal oleh Ziel. Tak hanya sekali Ziel tersenyum sendiri setelah melihat wajah Runa yang sekarang terlihat sangat konyol itu.
Tak seperti bayangan Ziel, anak perempuan itu tangguh juga. Meski dikalahkan berkali-kali dan wajahnya pun sudah berubah menjadi sekonyol itu tapi tetap saja ia tak mau menyerah.
Untuk sifat pantang menyerahnya itu Ziel patut mengacungkan jempol padanya. Ziel mengakui.
Sebelumnya, tak pernah terpikirkan akan ada hari seperti hari ini. Tak pernah ia bayangkan kalau mencoba bermain dengan anak perempuan itu bisa semenyenangkan ini.
Ziel kembali tersenyum menang. Wajah Runa sudah masam ketika harus menerima coretan di wajahnya lagi dari Ziel. Ada penyesalan terselip di hatinya. Andai dulu ia mau belajar bermain catur bersama Ayahnya, ia pasti tak akan semengenaskan ini!
"Gimana, nyerah nggak nih?" Ziel mengangkat sebelah alis matanya. Kentara sekali niatnya memang hanya untuk menantang Runa.
"Terusin!!" Putus Runa. Membuat Ziel tertawa senang.
Meski dalam hatinya ia kesal, apalagi kalau bukan karena coretan Ziel yang sembarangan ini. Yang ada di bawah hidung, membingkai sebelah matanya, pipinya... ah, mungkin wajahnya sudah hampir penuh karena coretan spidol Ziel!
Tapi dibandingkan harus menyerah lebih dulu, ia lebih baik berjuang dulu seperti ini. Harga dirinya terlalu tinggi untuk menyerah begitu saja.
"Loh, Runa? Wajah Runa..." Suara Arwan yang terkejut melihat coretan di wajah itu. Apalagi saat itu Ziel sedang menggambar sesuatu di dagu Runa, membuat Ziel dengan cepat menghentikan gerakan tangannya.
"Kakek!" Seru Runa.
Entah mengapa suara seruan itu terdengar seperti sebuah rengekan di telinga Ziel. Hingga ia berpikir kalau anak perempuan itu sengaja memamerkan sifat manjanya pada Arwan. Ziel memutar bola matanya. Jengah. Untuk membayangkan hal itu saja sudah membuat mood nya hancur!
Tiba-tiba Ziel berdiri dari duduknya. Lalu berkata, "Udah malem. Gue mau tidur!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Teen FictionSemenjak Ayahnya menghilang, Aruna tinggal sebatang kara. Mau tak mau, terpaksa atau tidak dia harus membiayai hidupnya sendiri. Lalu, pertemuan tak terduga Runa dengan seorang kakek tua bernama Arwan, seketika membuat hidup Runa berubah. Secara men...