Ziel melirik sinis anak perempuan di sampingnya. Biasanya, ia hanya duduk sendiri di dalam mobil pribadinya. Tanpa supir, tentu saja. Ia tidak suka memakai jasa supir yang menurutnya tidak efisien selama ia masih bisa menyetir sendiri.
Sejak tadi hanya terdengar deru lembut Audi R8 yang sedang melaju menyusuri jalanan ibukota. Hening. Begitulah suasana atmosfer di dalam mobil mewah itu. Dua manusia yang ada di dalamnya pun kalut dalam keheningan tanpa mau berusaha memecah suasana.
Dari ekor matanya, Ziel mengamati tiap jengkal anak perempuan itu. mulai dari atas kepala sampai sepatu kets usang yang menutupi kedua kakinya. Ziel mengernyit melihat sepatu usang yang lebih layak untuk diloakkan daripada dipakai untuk bersekolah. Warna hitam yang seharusnya mendominasi sepatu itu malah lebih terlihat seperti warna abu-abu karena pudar. Karet alasnya juga sudah tampak tipis. Ziel yakin, sepatu anak perempuan itu pasti sudah berumur lebih dari lima tahun.
"Kakek nggak belikan lo sepatu ya? Atau.. nggak ingat?"
Runa tersenyum saat pandangannya berpaling dari luar jendela ke arah anak laki-laki yang sedang duduk di belakang kemudi. "Nggak. Kakek nggak lupa." Balasnya, yang membuat Ziel mengernyit.
"Terus... kenapa lo masih pakai sepatu butut lo itu?" mata Ziel kembali melirik Runa sinis.
"Kakek nggak lupa. Tapi, aku yang nolak dibelikan sepatu." Runa kembali tersenyum. dia mengangkat salah satu kakinya, sedikit menunjukkan letak sepatunya berada. "Kamu lihat? Sepatuku masih bagus, masih awet. Jadi, belum saatnya untuk diganti."
Penuturan anak perempuan itu barusan berhasil membuat Ziel melongo parah. Tentu saja dia terheran-heran pada Runa yang menganggap sepatu tak layak pakai itu masih bagus dan awet. Siapa pun yang melihat, sepatu itu pasti sudah dilempar ke dalam tong sampah atau diloakkan agar lebih berguna sedikit. Ziel mendengus geli. Sekali kampungan tetap kampungan. Ya, begitulah pandangannya sejak ia bertemu dengan anak perempuan itu. Kampungan dan norak.
Detik berikutnya, Ziel tak lagi mengajak Runa berbicara. Ia tak lagi mengeluarkan suaranya untuk repot-repot memecah keheningan yang kembali tercipta. Sudah cukup tahu dirinya, akan pandangan yang ia berikan kepada anak perempuan itu yang tidak salah sama-sekali. Dua sifat itu sudah sangat mewakili sifat dan tingkah lakunya bersikap. Dan, tentu saja, ia tidak akan mau mengotori pergaulannya yang berkelas hanya karena seorang miskin yang sangat kampungan seperti Runa.
Mobil bercat putih itu seketika menepi dan berhenti di pinggir jalan. Runa mengedarkan pandangannya ke segala sisi, namun tak menemukan bangunan yang bisa disebut sebagai sekolah di sekeliling mereka. Yang ada hanya pepohonan di pinggir trotoar jalan dan beberapa ruko yang masih tertutup rapat di seberangnya.
"Lo turun di sini," seru Ziel yang membuat Runa terkesiap.
"Tu—turun?" mata Runa membulat, tak percaya.
Ziel mengangguk mantap, tanpa ragu sedikit pun. Dia melepas seatbelt-nya dan merubah posisinya menghadap Runa. "Dengerin gue ya.." titahnya tak terbantah, "Gue nggak mau semua orang di sekolah tau tentang hubungan lo dengan keluarga gue. Jadi..." dia mengangkat sebelah alisnya. "Lo ngerti maksud gue, kan?"
Runa terdiam. Dia balas menatap sepasang mata yang sedang menatapnya tajam. Mengerti, bahkan ia sangat mengerti maksud pembicaraan Ziel ini. Tak kaget juga mendengarnya, karena Runa sudah mendeteksi bahwa hal ini akan terjadi.
Sementara itu, Ziel mengamati ekspresi wajah anak perempuan di hadapannya sambil menunggu jawaban. Dia mengulum senyum sarat kemenangan saat mendapati Runa hanya diam memandangnya dengan tatapan kosong. Kecewa? Bagus, kalau memang anak perempuan itu kecewa dengannya bahkan lebih bagus lagi kalau sampai dia sakit hati. Namun, rasa kemenangan itu tidak berlangsung lama dan seketika berganti dengan kernyitan heran.
Runa menyunggingkan senyum lembut. Begitu lembut sampai hati Ziel merasa aneh karenanya. Ini tidak sesuai dengan harapannya. Bukan senyuman lembut yang Ziel mau. Bukan tatapan lembut yang malah membuatnya rikuh. Sungguh, sampai detik ini Ziel masih tidak paham akan senyum dan tatapan lembut anak perempuan itu.
"Oke." Suara itu berhasil memecah belah pikiran Ziel. "Terima kasih atas tumpangannya. Sampai ketemu lagi di sekolah!" seru Runa sambil menyunggingkan senyum lebar khasnya sebelum membuka pintu mobil dan berlari keluar.
Ziel terdiam. Matanya mengikuti tiap gerak anak perempuan yang kini berjalan menjauh ke depan mobilnya dan berhenti di sebuah halte yang memang berada tak jauh dari tempatnya menepikan mobil. Seperti tidak ada beban. Anak perempuan itu terlihat biasa saja saat meninggalkan mobil mewah miliknya, bahkan senyum masih bisa tersungging apik di bibir tipis merah itu.
Sampai anak perempuan itu memasuki sebuah mini bus dan menghilang, Ziel masih terdiam. Dalam benaknya kini sudah banyak pertanyaan tentangnya. Tentang Runa dan sikap lembutnya.
***
Runa terpaku menatap dinding pagar tinggi di depannya. Ini baru pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di tempat ini—yang mereka sebut sebagai sekolah—tapi menurutnya tidak.
Bangunan itu terlihat lebih mirip seperti gedung perkantoran yang megah. Ditambah lagi dengan penjagaan pintu pagar yang ketat. Yakin, jika Runa orang awam pasti dia akan menyangka itu adalah bagian dari bangunan pemerintah yang amat penting.
Runa menghela napas panjang. Seketika teringat akan jam yang dia tanyakan pada seorang wanita muda di dalam bus sebelum ia turun tadi. Sudah pukul delapan. Ia sudah terlambat 30 menit, atau malah lebih?
Sambil mengeratkan pegangannya pada tali tasnya, Runa mengambil langkah. Ia maju dan berhenti tepat di depan seorang satpam pria yang berjaga.
"Permisi, Pak. Saya Aruna, anak baru di sekolah ini. Apa bisa saya masuk?" Tanya Runa hati-hati.
Tapi tatapan itu malah melihatnya dengan tajam. Satu keyakinannya kini, satpam itu pasti mencurigainya.
"Kartu pelajar?" Tanya satpam itu kemudian.
"Saya belum punya, Pak. Saya kan, murid baru masuk hari ini." Sedikit ia tersenyum. Karena dalam hatinya telah resah kini. Banyak pertanyaan yang muncul dalam pikirannya dan dominannya adalah; bagaimana ia akan melalui hari pertamanya di sekolah ini? Mana mungkin ia rela berbalik pergi begitu saja. Mau kemana ia nanti? Dan, bagaimana perasaan Anwar jika tahu ia malah membolos di hari pertamanya sekolah?
"Maaf, kami tidak bisa asal mengizinkan orang masuk. Kalau memang Adek ini sekolah di sini, baik, saya akan tanya lebih dulu ke dalam. Apa ada namanya atau tidak," jelas satpam itu panjang lebar.
Tak ada yang bisa Runa lakukan kecuali mengangguk patuh dan menyetujui prosedur yang ada. Toh, ia tak berbohong. Maka sudah seharusnya ia tak menyangkal jika memang itu perlu dibuktikan.
"Nama?"
"Aruna Fathiara."
♡♡♡
Halo! Akhirnya setelah sekian lama aku punya ide buat lanjutin cerita ini. Ini baru tahap pertama. Semoga masih banyak ide yg tertuang disini jadi cerita ini bisa selesai seuai harapan :)
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Teen FictionSemenjak Ayahnya menghilang, Aruna tinggal sebatang kara. Mau tak mau, terpaksa atau tidak dia harus membiayai hidupnya sendiri. Lalu, pertemuan tak terduga Runa dengan seorang kakek tua bernama Arwan, seketika membuat hidup Runa berubah. Secara men...