Tiga

595 75 5
                                    

Sebuah taksi berwarna biru terang menepi dan berhenti tepat di depan sebuah pintu pagar besi hitam yang menjulang tinggi hingga menutupi sebagian keindahan rumah besar yang ada di dalamnya. Sepasang kaki lantas turun dari dalam taksi, Arwan tersenyum pada Runa yang masih duduk manis di dalam taksi sambil memeluk tas ranselnya dengan erat.

"Ayo turun, Runa! Kita sudah sampai di rumah Kakek," seru Arwan lembut. Tangannya melambai, menyeru Runa untuk segera turun dari sana.

Runa melihat lambaian itu yang mau tak mau membuatnya bergerak. Ia membuka hendle pintu mobil di samping kanannya, dan segera keluar dari dalam taksi. Kakinya melangkah menghampiri Arwan yang sudah berdiri di depan pagar. "Kek?"

Arwan tersenyum melihat Runa yang sudah berdiri di sampingnya. Tangan kirinya menadah, seolah meminta sesuatu dari anak perempuan itu. "Gandengan sama Kakek?"

Runa tersenyum lebar. Di detik berikutnya, tangannya sudah menggenggam tangan Arwan erat-erat. Dalam hatinya, ia meyakinkan diri bahwa langkah yang kini diambilnya adalah benar. Memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah kenangannya bersama ayah adalah satu keputusan terbesar yang ia ambil dalam hidupnya. Entah dari mana keyakinan itu datang. Salah satu di dalam dirinya menyeru kuat bahwa tinggal dengan Arwan adalah jalan terbaik untuk ia dan ayahnya.

Suara bel menggema tiga kali di telinga. Tak lama, seorang pria berseragam satpam membuka pagar tinggi itu. "Selamat-" satpam itu menggantungkan sapaannya. Matanya membulat lebar menatap sosok yang ada di depannya, "Tu-Tuan.."

Arwan tersenyum, "Apa kabar, Pambudi?"

Ada gurat kebahagian di wajah itu saat melihat wajah yang hampir dua minggu ini menghilang. Tanpa aba-aba, Pambudi, satpam itu, langsung merengkuh tubuh renta Arwan dengan hangat. Suasana rindu menjalar hingga membuat kehangatan di antara mereka.

"Tuaan.. ke mana saja selama ini?? Kami semua mengkhawatirkan Tuan, termasuk Nyonya Fazria, Tuan Tama, Den Ziel, dan Den Aska."

Arwan mengurai pelukan mereka, dan segera menatap wajah dengan kumis lebat itu penuh tanya. "Mereka mengkhawatirkan siapa?"

"Tuan Arwan. Semua mengkhawatirkan Tuan Arwan!" jawab Pambudi antusias dengan senyum mengembang lebar. Terlihat ada setitik air mata haru di ujung matanya.

Arwan hanya menyunggingkan seulas senyum tipis. Ragu, percaya bahwa orang-orang itu mengkhawatirkannya. Mungkin saja, Pambudi berkata demikian hanya untuk menghiburnya saja dan agar tidak pergi meninggalkan rumah ini lagi.

"Pam, tolong bawakan tas-tasku ini.." seru Arwan seraya memberikan tas ranselnya pada Pambudi, lalu beralih pada tas ransel milik Runa, namun anak perempuan itu malah semakin memeluk ranselnya dengan erat.

"Nggak usah, Kek. Runa bisa bawa sendiri kok," Runa tersenyum sopan saat mata Pambudi menatapnya penuh tanya.

"Gadis ini... siapa Tuan?" tanya Pambudi seraya mengalihkan pandangannya dari Runa ke Arwan.

Arwan tersenyum tipis, "Dia.. cucuku!"

***

Runa memandang bangunan besar di depannya dengan takjub. Baru kali ini ia menapaki sebuah pekarangan luas dengan rumah bergaya mediterania klasik berlatar putih gading yang begitu mempesona setiap mata yang melihat. Di tengah pekarangan itu terdapat air mancur yang dicat berwarna senada dengan rumah besar di hadapannya. Berbagai tanaman bunga yang cantik urut meramaikan dan mengindahkan sekeliling air mancur juga tepi jalan yang digunakan sebagai akses jalan menuju rumah itu. Dari samping kiri pun, terdapat sebuah bangunan kubah panjang yang juga bercat putih gading yang digunakan sebagai garasi dari mobil-mobil mewah yang memang terpakir rapih di sana. Sebenarnya, ia sudah tahu sejak awal bahwa rumah ini adalah rumah yang besar dan mewah. Namun ia tak mengira bahwa rumah itu benar-benar seindah ini.

ARUNA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang