Enam

210 27 0
                                    

Ziel mendengus dengan mata menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya sekarang. Seorang anak perempuan dengan poni lurus yang dikuncir ekor kuda itu sungguh ada di hadapannya kini, sedang tersenyum penuh percaya diri sambil berkata, "Semoga kita bisa berteman!"

Ziel hampir tertawa terbahak mendengar apa yang diucapkan anak perempuan itu. Kata-katanya sungguh dramatis. Namun, siapa pula yang mau berteman dengannya di sini? Berani bertaruh, tak akan ada!

"Ouch, sepatunya butut banget! Beli di pasar mana tuh dia? Gila!!"

Ziel tersenyum miring mendengar komentar Lula yang begitu sarkastik. Bukankah sudah ia katakan, anak perempuan itu tak akan punya teman di sini.

"Pasti anak pembantu! Tapi... orang dermawan mana yang mau nyekolahin anak pembantu di sekolahan elit?" Sambung Orland, anak laki-laki blasteran Kanada itu yang duduknya di belakang Lula, samping Ziel.

"Jangan bilang dia tuh anak selir yang baru ditemuin?" Celetuk Thomas yang duduknya tepat di belakang Ziel itu.

"Wahhh, kalo itu beneran sih gila banget namanya! Macam sinetron drama-drama gitu kan?" Balas Orland menanggapi sambil tertawa yang diikuti oleh mereka yang mendengar pembicaraan itu. Sementara Ziel hanya tertawa kecil dengan mata yang tetap menatap anak perempuan itu lurus-lurus.

Runa akhirnya mengambil tempat di kursi paling belakang di barisan kedua. Ia lantas membuka bukunya dan mulai bersiap untuk mengikuti pelajaran.

Pada mulanya semua berjalan lancar sampai ia tahu bahwa beberapa mata mengarah dengan tatapan sinis padanya. Begitu pula dengan Ziel, anak lelaki itu bahkan sampai memutar bola matanya ketika ia lewat tadi.

Tapi, karena ia tak mau banyak memikirkan hal itu, Runa lantas mengalihkan fokusnya pada pelajaran saat ini. Mau bagaimana ia nanti, biarlah itu jadi urusan nanti, sekarang saatnya belajar. Ia tak akan mau mengecewakan orang-orang yang sudah mendukungnya dan baik padanya, terutama Arwan.

***

Runa tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya ketika seorang guru melemparkan spidol tepat ke arah meja di sampingnya, atau lebih tepatnya; meja di sudut ruangan ini.

Tak!

Bunyi suara itu keras. Tapi sayang, hal itu tak lantas membuat penghuninya tersadar. Tak mempan.

Maka untuk kali kedua, seorang guru perempuan berkaca mata dengan tatapan tajam menyeramkan itu mengambil spidolnya lagi dan melemparkannya. Dan, kali ini tepat mengenai kepalanya. Cukup keras. Berhasil, karena anak lelaki berambut hitam legam itu seketika bangun dari tidurnya.

Ia menggeram. Merasa terusik karena ketenangan tidurnya sudah terganggu. Nahasnya, orang pertama yang mendapat pelototan dan geraman amarah itu Runa, orang yang duduk di seberangnya. Sontak membuat Runa memberingsut takut karenanya.

Sungguh, jika bisa dideskripsikan, wajah anak lelaki itu sangat menyeramkan. Alis mata tebalnya bahkan sampai menukik tajam akibat terlalu ia tarik ke tengah.

"Kalau mau tidur di Hotel sana, jangan di kelas! Kelas itu tempatnya orang-orang belajar!" Seru guru itu dengan suara menggelegar.

Runa menatap anak lelaki yang tengah berdiri itu. Tatapan matanya datar. Seakan sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu. Tapi ia tak melawan. Ia hanya diam dengan gerak-gerik mata ke depan dan ke samping. Dari fokusnya terlihat, anak lelaki itu enggan melihat guru wanita itu bicara.

"Keluar kamu!" Seru guru wanita itu ketus.

Dan, anak lelaki itu bergerak melangkah keluar tanpa perlawanan. Ia pun menghilang, tak terlihat lagi setelah pintu tertutup rapat.

ARUNA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang