Tujuhbelas

217 32 4
                                    

Siang itu, seperti biasa. Sepulang sekolah Runa langsung bergegas pulang kembali ke rumah itu.

Meski tak ada yang menyuruhnya, tapi Runa cukup tahu diri. Runa tak mau merepotkan. Tapi ia lebih tak mau kalau dianggap sebagai benalu di rumah itu. Posisinya hanyalah menumpang di sana. Runa sadar, ia bukan siapa-siapa. Itu sudah sangat jelas. Maka ia tak mau kehadirannya di sana malah membuat orang lain terbebani, terlebih untuk keluarga itu yang sudah sangat baik padanya. Meski tak bisa membalaskan semua budi, setidaknya jika ia bisa melakukan hal berguna itu lebih baik daripada ia hanya diam dan menerima semuanya dengan cuma-cuma.

Tak heran membuat Runa selalu menolak ajakan bermain di luar. Seperti Rini hari ini yang tengah membujuk Runa untuk datang ke pembukaan sebuah Kafe baru dari kenalannya.

"Aku nggak bisa, Rini. Maaf yaa..." kalimat itulah yang selalu Runa ucapkan. Entah sudah keberapa kalinya sampai Rini hampir bosan mendengarnya.

"Yaudah, ganti jadi besok gimana? Hm?" Harapan Rini, sekali saja anak perempuan itu mengangguk dan menyetujui ajakannya. Pasalnya, ia tak mau sendiri lagi. Sementara Raka bukan orang yang tepat untuk diajak bicara. Sungguh ia pun ingin merasakan apa yang anak perempuan lain rasakan. Ia ingin berbincang, mengobrol ringan dengan canda sebagai selingan. Ia sangat ingin merasakan itu semenjak ia menemukan seseorang yang rasanya sudah sangat dekat dengannya kini. Orang yang ia anggap sebagai sahabat.

Melihat tatapan Rini yang penuh harap padanya, sungguh, Runa tak mau mematahkan harapan itu. Apalagi Rini sangat terlihat tulus padanya. Ia tak mau sampai melukai anak perempuan itu kalau-kalau ia menolak.

Tapi pekerjaan di rumah itu juga penting baginya. Ia tak ingin mangkir. Karena sungguh hutang budi itu lebih berat membebaninya. Meski dalam hati terdalam ia pun ingin merasakan kebahagiaan dan keseruan hidup sebagai seorang remaja. Namun tetap saja, hidupnya bukanlah seperti remaja lain. Ia berbeda. Sangat-sangat berbeda.

"Rini..." tangan Runa langsung menggenggam tangan Rini erat. "Maaf banget, aku bener-bener nggak bisa kemana-mana. Aku harus pulang." Katanya. Ia menatap, menuntut pengertian. Berharap Rini bisa mengerti arti tatapan itu.

"Alasannya?"

Runa terdiam. Di satu sisi ia ingin sekali jujur dengan kondisinya kini, tapi di sisi lain ia harus menepati janjinya pada Ziel yang tak ingin mengungkapkan kebenaran kalau Runa tinggal di rumahnya.

"Apa alasannya?" Sekali lagi Rini bertanya. Namun lagi-lagi Runa hanya terdiam.

Menunggu Runa menjawab hingga berdetik-detik berlalu, membuat Rini lelah. Apalagi diamnya bibir itu tanpa gerakan sedikit pun, menambah keyakinan Rini bahwa Runa tak akan menjawab pertanyaan itu.

Rini menghela napasnya. Terdengar panjang dan begitu lelah. Akhirnya ia berkata, "Yaudah."

Meski samar, Runa bisa melihat senyuman itu. Tatapan matanya tersiratkan rasa kecewa tapi ia tetap berusaha tersenyum. Meski dengan sebuah senyuman tipis.

Ketika Runa hendak kembali mengeratkan genggaman tangannya, Rini menariknya. Melepaskan.

"Aku..."

"Nggak apa. Gue ngerti." Ucap Rini.

Hati Runa mencelos ketika melihat mata itu. Menatap penuh kekecewaan, berkaca-kaca. Sungguh, ia pun ingin menjelaskan semua alasannya. Ia pun ingin jujur padanya. Tapi...

"Mungkin emang gue aja yang terlalu berlebihan." Rini terdiam sesaat. Lebih kepada menata hati dan pikirannya agar apa yang dirasakannya kini tak terlihat oleh anak perempuan itu. Karena ia ingin terlihat baik-baik saja.

Dengan kekuatan menekan hati juga gejolak emosi yang kian menyulut, Rini tersenyum. Meski terasa sesak, ia tetap melebarkan senyumnya. "Nanti gue bisa ajak Raka ke sana. Dia kan emang selalu nggak punya kerjaan." Rini tertawa, getir.

Runa pun melihat gelagat itu. Gelagat sedih bercampur kecewa. Sungguh, melihat Rini seperti itu ia benar-benar merasa bersalah. Mungkin ia sudah keterlaluan pada anak perempuan itu.

"Kalau gitu, gue duluan ya? Pak Suryo udah nunggu gue di depan." Kata Rini. Sungguh canggung, terlihat sekali dari cara bicaranya. Terlebih senyum yang ia tunjukkan. Begitu memaksa.

Runa hendak menghentikan. Tapi Rini buru-buru berbalik pergi meninggalkannya yang masih terpaku menatap tas punggung oranye-nya.

Rini marah, Runa yakin itu.

Dengan hati-hati, Runa mengikuti langkah Rini yang berjalan dengan sedikit tergesa. Runa memerhatikannya. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa. Janjinya pada Ziel terputar lagi dipikirannya, seolah mengingatkan. Runa mendesah. Mengapa keadaannya ini jadi begitu rumit?

Langkah Runa berhenti ketika melihat Rini diam tak bergeming di tempatnya. Tepat di depan gerbang. Seperti yang Rini katakan tadi, Runa jadi ikut mencari dimana mobil Toyota Yaris merah itu berada. Yang kaca belakangnya terdapat gambar Snoopy, kartun anak anjing putih, yang Runa tahu adalah tokoh kesukaannya. Nihil. Runa tak melihat mobil itu.

Setelah bermenit-menit menunggu, dan anak perempuan itu masih tetap berdiri di sana.

Sekarang Runa tahu, apa yang dikatakannya adalah hanya sebuah alasan. Alasan untuk cepat pergi meninggalkannya.

Runa melanjutkan langkahnya. Mencoba menyusulnya, mendekat. Tapi belum sempat Runa sampai di sana, sebuah motor hitam membawanya pergi setelah sebelumnya sempat ada perdebatan kecil.

Rini pergi. Benar-benar pergi. Bersama perasaannya, yang ia yakini adalah...

Amarah.

***

Runa menarik napasnya panjang. Sebelum memberanikan diri membuka kenop pintu di depannya. Itu kamar Arwan. Tadi saat ia baru sampai rumah sepulang sekolah, Bibi langsung memberitahukan Runa perihal Arwan yang ingin ia datang ke ruangannya untuk membicarakan sesuatu.

Dan, Runa tahu betul apa sesuatu itu.

Dengan keyakinan penuh sambil menguatkan hatinya dengan merapalkan kalimat "semua akan baik-baik saja", akhirnya ia memberanikan diri membuka pintu itu.

Pintu itu terbuka.

Arwan sudah menunggunya di sebuah kursi putih yang menghadap jendela itu. Tanpa menoleh. Membiarkan Runa melihat punggung rentanya dari belakang.

Melihat wajah Arwan yang sangat netral, begitu tak terbaca. Runa masih tetap berpikir positif.

Masih merapalkan kalimat "semua akan baik-baik saja" Runa menguatkan hatinya. Menetralkan pikirannya. Sekuat tenaga ia berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran itu.

Lalu, dengan segenap kekuatannya. Ia berkata, "Kakek!"

Arwan menoleh ke belakang.

Runa tersenyum. Kemudian, langkahnya pun bergerak mendekat.

Sekarang, ia sudah yakin. Seraya mengucap dalam hati, "Ayah, sebentar lagi kita bertemu."

♡♡♡

Ohai, untukmu yang menyukai cerita ini, bisakah bila aku meminta komentar kalian.

Jujur, meski katanya ada yang menanti cerita ini tapi aku gak tau benar ato gak karna gak ada yg bilang.

Tolong, jika memang suka dengan ceritanya berikan komentarmu dan dukunganmu. Karna sungguh, semua itu sangat berarti buatku.

Tolong yaa, jgn sungkan2 buat berkomentar. Aku malah seneng banget kalo kalian kasih pendapat kalian soal cerita ini.

Terimakasih.

Salam, :)

ARUNA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang