Runa memandang rerumputan hijau dari halaman belakang sekolah itu dalam diamnya. Rambutnya kusut akibat ikut tertarik saat berusaha melerai pertengkaran itu tadi.
Sungguh, ia tak percaya akan apa yang dilihatnya tadi. Bukan, itu bukan masalah pertengkaran Rini dan Lula yang kekanakan tetapi lebih pada respon yang diberikan mereka semua. Ya, para siswa-siswi itu!
Kalau bisa berkata, dunia di sini benar-benar lebih kejam dibanding dunianya dulu. Di sini sangat apatis. Tak ada yang peduli. Tak mau tahu. Runa menghela napas panjang. Ia lantas menyenderkan punggungnya ke kepala kursi kayu bercat putih yang ia duduki itu. Nyatanya letih juga setelah berjuang seperti itu.
Tiba-tiba ia merasa perih saat sesuatu yang dingin dan basah menyentuh pipinya. Matanya setika terbuka. Terkejut bukan main ketika dilihatnya seorang anak lelaki berambut hitam legam sedang memandangnya sambil menempelkan air mineral dingin di pipinya. Kontan, ia bergerak menjauh, bergeser lebih jauh ke arah kiri.
"Minum?" Tawar anak lelaki itu sambil melemparkan botol air mineral itu ke arah Runa, yang mau tak mau ditangkapnya dengan sigap.
"Ma-makasih," ucap Runa terbata. Itu bukan karena ia gugup, tapi karena canggung melihat orang asing berada di dekatnya, menyapanya pula.
"Sama-sama."
Meski ia tak merasa haus, tapi demi kesopanan akhirnya Runa meminum air mineral itu juga. Ditandaskannya sampai seperempat botol atas lalu menutupnya kembali.
"Ada luka di pipi lo." Ujar anak lelaki itu lagi. Membuat Runa mengernyit. Sadar akan ekspresi Runa, anak lelaki itu pun berdecak. "Nggak percaya banget sih," ia lantas mengeluarkan ponsel dari saku celananya, membuka kamera depan lalu menunjukkannya pada Runa.
Benar saja, ada memar di tulang pipinya sekaligus goresan luka bekas cakaran. Pasti karena tadi ia tak sengaja terkena saat melerai tadi. Pantas saja Runa merasakan perih saat terkena air tadi.
"Mau ke UKS?" Tanya anak lelaki itu.
"Makasih,"
"Hei. Gue nanya, mau ke UKS atau nggak, kenapa malah bilang makasih sih?" Sungut anak lelaki itu. Ia kelihatan kesal sekali. "Mau ke UKS nggak?" Tanyanya lagi. Wajahnya jengah.
"Nggak usah, ini nggak seberapa kok." Balas Runa sambil tersenyum tipis. Ternyata di sini masih ada yang peduli pada orang lain. Menunjukkan simpatinya, seperti anak lelaki ini.
"Oke." Balas anak lelaki itu singkat.
Sempat tak ada pembicaraan di antara mereka. Masing-masing kalut dalam pikirannya. Terlebih untuk Runa. Namun tiba-tiba anak lelaki itu bicara lagi, menghilangkan kesunyian.
"Lo nggak mau tanya siapa gue?" Ia memandang Runa yang duduk di sampingnya.
Begitu pula Runa, ia langsung melihat wajah anak lelaki itu begitu pertanyaan itu disuarakan.
Runa tersenyum. "Hai, aku Aruna. Salam kenal. Kamu?"
Namun bukannya menjawab anak lelaki itu malah mendesah panjang, memutar bola matanya. "Hah, basi!" Ia lantas berdiri dari duduknya. Membuat Runa bingung akan sikap itu. "Kalau gue nggak tegur duluan pasti lo diem!"
Anak lelaki itu pun kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti sebentar. Ia membuat punggung tegapnya menjauh. Sementara Runa masih terpaku di tempatnya. Jujur saja, ia masih bingung dengan keadaan ini dan lebih lagi pada sikap anak lelaki itu yang sungguh aneh.
Tapi sebelum ia bergerak lebih jauh. Runa dengan sigap berteriak.
"Oke. Maaf! Nama kamu siapa?" Tanya Runa dengan lantangnya. Berharap anak lelaki itu tak mengabaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Teen FictionSemenjak Ayahnya menghilang, Aruna tinggal sebatang kara. Mau tak mau, terpaksa atau tidak dia harus membiayai hidupnya sendiri. Lalu, pertemuan tak terduga Runa dengan seorang kakek tua bernama Arwan, seketika membuat hidup Runa berubah. Secara men...