"Besok tanggal merah nih, ke kelab yok?!"
Orland menggerakkan badannya ke kanan dan ke kiri. Menari asal sesuka hati tanpa ritme yang pasti. Lalu kepalanya ia goyangkan ke kanan dan ke kiri dengan ritme yang cepat. Membuat Thomas memukul kepalanya, tak tahan.
"Kok lu pukul kepala gue sih?"
Lalu terjadilah pukul memukul antara mereka. Ziel hanya memperhatikan tingkah mereka tanpa berkomentar. Merasa sudah biasa. Orland dan Thomas memang selalu begitu.
"Zi, lo ikut kan?" Tanya Orland begitu pertengkaran singkatnya dengan Thomas usai.
Ziel tersenyum miring. "Nggak janji."
"Ah, nggak asik lo!" Sahut Orland.
"Hei, Stupid! Level Ziel tuh beda sama kita. Dia kan harus persiapin buat kuliahnya di Oxford!" Balas Thomas setelah mendorong kepala Orland dari belakang hingga kepala anak lelaki itu terpental ke depan.
Orland berdecak. "Seneng-seneng sehari nggak bikin lo gagal kuliah kok, Zi!"
"Hm, kadang lo bener juga sih, Stupid!" Thomas tersenyum pada Orland yang sekarang tengah memelototinya. Kesal.
Ziel termenung sesaat. Oxford ya? Dari dulu ia memang bercita-cita kuliah di sana. Dan bersekolah di sekolah internasional ini pun demi mendukung impiannya itu terwujud. Sampai ketika impiannya itu terjadi, ia akan buktikan kalau ia mampu menjadi hebat pada Kakeknya!
Lihatlah, Aziel Ersa Wardhana pasti akan sukses suatu hari nanti.
Ziel tersenyum. "Nanti gue kabarin ikut atau nggaknya." Katanya lalu berjalan pergi lebih dulu meninggalkan mereka di belakang.
"Eh, Ziel!"
Tak peduli dengan Thomas dan Orland yang terus memanggil namanya, Ziel berjalan terus dengan tatapan lurus. Sebagai salam, ia lalu melambaikan tangan di belakang kepalanya.
***
Ziel menghela napas panjang begitu tiba dan berhasil memarkirkan motornya. Jalanan menuju pulang tadi cukup padat hingga membuatnya letih. Maka itu begitu tiba di rumah ia bergegas ingin merebahkan tubuhnya dan beristirahat.
Ziel berjalan memasuki rumahnya yang megah. Saat ia hendak naik ke atas melalui tangga, suara tawa mengusik keingin tahuan dirinya. Kepala Ziel menoleh. Di sana ia melihat anak perempuan itu dan Kakeknya sedang tertawa bersama. Ia melihat anak perempuan itu sedang menunjukkan kedua jarinya, lalu Kakeknya tersenyum sambil mengelus lembut puncak kepalanya.
Runa, anak perempuan itu, telah mendapatkan perlakuan istimewa dari Arwan yang bahkan belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Tangan Ziel mengepal kencang.
Karena inilah, Ziel membencinya. Sangat.
***
Runa sadar ketika Ziel sedang berdiri dan menatapnya dengan tatapan tak suka sebelum akhirnya naik ke atas dan pergi menghilang di balik pintu kamar.
Runa tahu, Ziel tak suka dengannya karena ia terlalu dekat dengan Arwan. Runa mengerti perasaan Ziel, yang ingin dekat dengan Arwan dan Arwan yang selalu menyimpan tatapan sayang pada Ziel di balik matanya ketika menatap anak lelaki itu, hanya saja ego keduanya malah membuat mereka menjauh.
Semenjak ia tinggal di rumah besar ini, dan mengenal anak lelaki itu. Runa paham sekali bagaimana perangai Ziel. Caranya memberikan kasih sayang begitu tersirat. Tak terlihat. Tak kentara. Bahkan ketika ia ingin membantu Bibi yang tersayat pisau Ziel mengambil kotak P3K dan meletakkannya diam-diam. Kalau saja Runa tak memperhatikan gerak-geriknya, Runa pasti tak akan pernah tahu kalau Ziel ternyata memiliki sisi lembut di dalam hatinya. Sikapnya memang tampak dingin dan kasar dari luar. Ia juga tipikal orang yang tertutup kecuali ketika bersama dengan adiknya, Aska, ia bisa menjadi lebih terbuka.
Sesungguhnya Runa sangat ingin membantu Ziel agar anak lelaki itu bisa lebih akrab dengan Arwan. Tapi saat melihat sikap keduanya, Runa bingung harus melakukan apa. Apalagi hubungannya dengan Ziel juga tak bagus. Pasti akan sulit sekali!
Runa menghela napas panjang. Langkahnya menyusuri pinggiran kolam renang sambil bermain air. Ia berpikir. Berpikir. Berpikir dan...
"Ketemu!"
Bagaimana pun ia harus berteman dulu dengan Ziel. Harus!
***
Runa mengetuk-ngetuk pintu kamar itu berulang kali, tapi tetap saja yang di dalam tak mau membukanya.
Bibirnya mengerucut tanpa sadar. Ia menghela napas panjang.
Tak hilang akal, Runa segera berlari ke arah balkon kamar. Ketika mengetahui pintu balkon kamar Ziel terbuka, ia langsung tersenyum.
"Ziel!"
"Zieel!"
"Zieeel!"
"Zi--"
"Apa sih?! Berisik tau nggak?!"
Akhirnya Ziel menunjukkan dirinya juga di depan Runa. Meski dengan wajah kesal setengah mati. Tapi melihat anak lelaki itu masih mau merespon panggilannya, itu sudah membuat Runa senang.
Runa tersenyum. "Mau ajakin main catur."
Ziel mengernyit. Alis mata tebalnya bahkan sampai bertaut rapat.
"Kamu bisa kan?"
"Nggak bisa. Gue sibuk!" Katanya cepat dan hendak berbalik pergi.
"Tapi besok kan libur."
"Nggak ngaruh. Gue tetep sibuk!!"
"Hah, bilang aja kamu takut, kan?!"
Di detik itu juga Ziel langsung berbaik menatap Runa dengan tatapan tak percaya. "Apa?"
"Kamu takut lawan aku main catur, makanya jadi sok sibuk!"
Ziel tertawa mendengus seakan mencemooh apa yang Runa katakan barusan. "Gue nggak pernah takut. Apalagi cuman sama lo!"
"Oh ya?" Runa mengangkat alis matanya tinggi yang tak terlihat karena hilang tertutup poni. "Buktiin dong kalo gitu!"
Mata Ziel menyipit tajam. Sungguh, ia tak suka cara anak perempuan itu meremehkannya.
"Oke." Putus Ziel akhirnya. "Mau kapan?"
"Selesai makan malam. Oke?" Runa tersenyum.
Ziel memutar matanya. "Oke." Katanya sebelum ia berbalik pergi.
Dalam hati Runa tersenyum senang. Lemparannya sungguh sangat pas terkena sasaran. Berharap apa yang ia inginkan saat ini bisa segera terwujud!
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Teen FictionSemenjak Ayahnya menghilang, Aruna tinggal sebatang kara. Mau tak mau, terpaksa atau tidak dia harus membiayai hidupnya sendiri. Lalu, pertemuan tak terduga Runa dengan seorang kakek tua bernama Arwan, seketika membuat hidup Runa berubah. Secara men...