Aruna Fathiara.
Sebuah nama yang ia banggakan karena itulah nama pemberian Ayahnya. Hanya Ayah, tanpa seorang Ibu. Walau begitu, baginya Ayah sudah berperan sebagai Ibu juga untuknya. Lelaki yang berperan sebagai Ayah sekaligus Ibu untuk Aruna. Maka, baginya Ayah adalah segalanya.
Dan ketika yang segalanya itu tak ada lagi di dunia ini...
Lalu apa arti dirinya kini?
Runa termenung-menung dalam duduknya di atas ranjang besar itu dengan tatapan kosong. Senja bahkan akan segera pergi. Tapi ia tak peduli.
Entah sudah berapa lama ia duduk di sana. Masih dengan seragam sekolahnya yang masih lengkap melekat di tubuhnya. Dasinya pun masih melingkar di lehernya meski sudah tak serapih sebelumnya.
Lalu, sebulir air mata menetes di pipinya. Lamat-lamat, dan akhirnya kian deras.
Tak tahan. Akhirnya ia menutup wajahnya sambil terisak dengan sedu sedan yang berusaha mati-matian ia tahan.
"Ayah..." sebutnya.
***
"Aruna di mana? Dia masih di atas?"
Tama menatap heran begitu menyadari seseorang yang kurang lebih sebulan ini selalu ada di kursi itu tak terlihat di sana. Ia menatap Arwan, Papa Mertuanya itu dengan penuh tanya. Tapi Arwan bergeming dengan tatapan datar menatap makanan yang sudah tertata rapih di depannya. Lalu, matanya beralih pada Ziel, anak lelaki sulungnya itu, yang juga diam tanpa ingin berkomentar.
"Mungkin dia ketiduran, karena capek bantu-bantu Bibik dan Yati." Seloroh Fazria membuka suara.
Tama langsung menatap Fazria, tatapan penuh tanya.
"Iya, dia selalu bantu-bantu Bibik Tum dan Yati entah masak, jemur baju, bersih-bersih..."
"Oh ya?" Tanya Tama. Dari tatapannya pria itu tak percaya akan apa yang barusan dikatakan oleh istrinya itu.
Fazria mengangguk. "Aku juga sering pergokin dia nyuci piring setelah makan malam."
"Kenapa nggak kamu cegah?" Tanya Tama. Jujur saja, ia tak mengerti sikap istrinya itu. Meski ia tahu Fazria memang tak bisa bersikap ramah dan baik hati secara terang-terangan pada orang lain apalagi pada orang asing yang tak ia kenal. Tetapi Fazria tak mungkin setega itu.
Fazria menghela napas panjang. "Aku pikir dia hanya mau bantu sedikit di rumah ini. Aku juga baru tahu kalau ternyata dia lakukan itu setiap hari! Kalau aja Bibik nggak bilang, aku pasti nggak tahu!"
Mendengar penjelasan Fazria, membuat Tama bungkam. Benar, itu bukanlah salah istrinya. Harusnya ia sudah tahu kalau istrinya itu tak mungkin bisa setega itu.
Tama menghela napas. Lalu tatapannya beralih pada Ziel yang terlihat tenang dengan makan malamnya.
"Ziel, coba kamu ajak Aruna turun ke bawah untuk makan malam."
Ziel bergeming. Dia enggan bergerak apalagi tujuannya untuk mengajak anak perempuan itu.
"Ziel." Panggil Tama sekali lagi. Yang berhasil membuat Ziel melirik ke arah Papanya itu. Melihat tatapan intimidasi yang di nyalangkan Tama padanya membuat Ziel mendengus. Mau tak mau dia harus berdiri.
Namun baru saat suara derit kursi terdengar, tanda berdirinya Ziel dari duduknya itu tiba-tiba suara Arwan mengintrupsi. Ziel terdiam di tempatnya menatap Kakeknya bingung yang tiba-tiba bicara dengan tegas.
"Biarkan saja. Nanti jika lapar pasti dia turun sendiri."
***
Selepas makan malam tadi, Ziel kembali ke kamarnya yang berada di lantai dua. Berhenti sesaat ketika sampai di depan pintu kamarnya. Bukan, dia bukan sedang menatap pintu kamarnya sendiri tetapi pada pintu sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Teen FictionSemenjak Ayahnya menghilang, Aruna tinggal sebatang kara. Mau tak mau, terpaksa atau tidak dia harus membiayai hidupnya sendiri. Lalu, pertemuan tak terduga Runa dengan seorang kakek tua bernama Arwan, seketika membuat hidup Runa berubah. Secara men...