Jurang pemisah

2.1K 202 14
                                    

"Itachi-kun sayangg!" panggil Yugao yang mulai merasa  kesal karena Itachi sedari tadi  hanya melamun dan melamun saja. "Eh, ada apa?" tanya Itachi. Yugao cemberut dan menatap tak suka. "Kau dari tadi melamun terus, kenapa sih?" tanya Yugao. Itachi melempar pandanganya keluar jendela.


 Akhir-akhir ini ia selalu bermimpi tentang Himawari. "Sepertinya aku merindukan Himawari," ucap Itachi. Yugao sebenarnya tak suka jika Itachi masih mengigat segala sesuatu tentang kehidupan pernikahanya. "Hima-chan pasti baik-baik saja disana, dia kan anakmu, dia pasti kuat sepertimu," jawab Yugao tersenyum sambil menepuk pundak pria bermata kelam tersebut.


Itachi tersenyum sesaat. "Terimakasih, kau selalu mengerti," ucap Itachi pada Yugao. Yugao akan terus membuat Itachi semakin mencintainya, agar lambat laun pria itu dapat melupakan Hinata dan Himawari.
"Yugao, kau masih suka bernyanyi?" tanya Itachi mulai mengalihkan arah pembicaraan mereka. Yugao mengangguk. Itachi pun memintanya untuk bernyanyi. Itachi sangat menyukai suara indah Yugao ketika bernyayi. 


If I could change the currents of our lives

To make the river flow where it's run dry

To be a prodigal of father time

Then I would see you tonight


If I could find the years that went away

Destroying all the cruelty of fate

I must believe that love will find a way

Tonight  


"Kau tidak berubah, suaramu tetap indah," Puji Itachi. Yugao tersenyum bangga. 

.

.

Pagi itu, hangatnya sinar mentari menyelinap memasuki celah jendela menerpa seorang gadis kecil  yang sedang menggambar, di sampingnya ada wanita yang sedang duduk tenang, sementara jemarinya sibuk menyulam. 


"Mama tidak pergi bekerja ya hari ini?" Himawari bertanya. Masih asyik dengan kegiatan menggambarnya. 


Setiap hari Himawari menggambar untuk mengisi waktu, ia tak menyadari bahwa kini gambaranya semakin bagus. Jemarinya semakin lincah menggores, menghubungkan garis-garis menjadi suatu bentuk yang mengandung arti dan dapat dijelaskan. 


"Tidak sayang, hari ini toko bunga tutup, jadi mama tidak bekerja," ujar Hinata maih fokus menyulam. Membuat sebuah syal berwarna biru gelap. 


"Ma," panggil Himawari menghentikan kegiatan menggambarnya lalu berdiri dan menghampiri sang ibu. Hinata menoleh, didapatinya ekspresi sedih Himawari. Hinata melihat mata anak itu, tampak jelas memancarkan kesedihan yang mendalam. "Hima? kenapa?" tanya Hinata menyimpan sulamanya dan menghampiri Himawari. Anak itu hanya menggeleng. "K-kapan aku sekolah ma?" tanya Himawari. Hinata begitu sedih mendengarnya. Sampai saat ini ia masih belum bisa menyekolahkan Himawari. Hinata hanya bisa membelikan Himawari buku-buku untuk membantunya belajar. 

"Secepatnya Hima sayang," ucap Hinata tersenyum getir , namun Himawari merasa ada keraguan pada kata yang diucapkan sang ibu kepadanya. Hinata merasa sangat berdosa karena membawa sang anak dalam kesengsaraan seperti ini. "Tidak usah memaksakan mama,"jawab Himawari tersenyum, Ia memang ingin sekolah seperti dulu, namun ia melihat pada kenyataan yang ada. 

Between [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang