Selepas dari rumah Maxi, Joeshen terus menyetir mobil untuk mengantar Lana pulang. Dalam perjalanan yang cukup jauh, semua terasa kaku. Baik Lana maupun Joeshen, memilih diam dan asik dengan pikirannya masing-masing.
Hingga ada sesuatu yang mengharuskan Joeshen terpaksa memulai berbicara.
"Bi-sakah kamu menunjukkan arah menuju rumahmu?" Joeshen terdengar gugup mengatakan kalimat tersebut, hingga dia tak mampu untuk memandang Lana yang masih sesenggukan di sebelahnya.
"A-ku, aku belum ingin pulang," jawab Lana yang juga gugup, tapi sedikit mengejutkan Joeshen yang kemudian mendadak mengerem mobilnya.
Tubuh lama pun terhentak ke depan saat mobil itu berhenti, membuatnya kaget dan langsung memandang Joeshen.
"Maaf, tadi se-pertinya aku menabrak sesuatu," ucap Joeshen, berbohong. Dia merasa bersalah atas perbuatannya barusan, "Lalu?" tukasnya singkat untuk mencairkan suasana yang mulai tegang kembali.
"Tolong bawa aku ke pantai," pinta Lana sambil menggenggam tangan Joeshen yang masih pada setir mobil.
Mungkin dia masih syok atas hal yang baru saja terjadi padanya, pikir Joeshen. Tapi kenapa dia ingin ke pantai? Apa mungkin dia frustasi dan ingin bunuh diri? Pertanyaan yang muncul di hati Joeshen, yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Namun pasti itu tidak akan bisa mendapat jawaban yang layak untuk diterimanya. Untuk beberapa saat Joeshen terdiam, memandang dan merasakan halusnya tangan Lana yang dingin. Hingga Lana kembali angkat bicara dan menyadarkan Joeshen dari lamunannya, "Maukah kamu mengantarku, Joe?"
Joeshen seakan terhipnotis dan segera mengangguk, tanpa memandang wajah Lana yang sayu. Wajah gadis yang sedang frustasi dan butuh perlindungan saat ini. Tanpa pikir banyak Joeshen kembali menginjak gas mobil dan kembali fokus dengan setirnya.
***
Maxi merasa geram atas tindakan Joeshen yang sudah lancang menerobos masuk rumahnya, dan merusak semua acaranya. Belum lagi Lana, yang menurutnya belum menerima balasan setimpal. Membuat Maxi semakin kesal dan memutuskan pergi ke diskotik.
Begitulah kehidupan Maxi, selain emosional dia juga terlalu suka menghamburkan uang demi mencapai sebuah kepuasan. Tentu saja ... Denis, Alberto dan Leo selalu setia mendampingi Maxi, seperti anjing penjaga.
Alunan musik yang menghentak keras serta kilatan lampu berwarna-warni, seolah menjadi hiburan penghilang kekesalan Maxi. Terlebih gadis-gadis pelayan diskotik yang seksi yang seperti lalat, ketika melihat Maxi datang. Tentu saja banyak gadis yang ingin menemani pemuda kaya tersebut. Terlebih ketampanan Maxi yang layaknya gambaran Dewa Yunani di cerita mitos, hampir selalu menghipnotis setiap gadis yang melihatnya.
"Hai, Sayang ... Kenapa wajahmu begitu muram? Apa ada yang mengganggumu?" sapa seorang gadis berambut poni, berwarna hitam lurus panjang sepunggung. Gadis bertubuh langsing dan seksi layaknya model tersebut, segera merangkul leher Maxi dari belakang.
"Ayolah, Clara ... Sesekali biarkan Maxi menyendiri dan bermainlah dengan kami," saut Leo yang duduk di sebelah kanan Maxi.
"Hmmm ..., ya aku akan bermain dengan kalian, asal kalian bisa memiliki apa yang dimiliki oleh Maxi," jawab Clara sambil menegakan badannya, yang tadi menyender di punggung Maxi.
Clara memang salah satu pelayan diskotik yang banyak diminati oleh pelanggan berhidung belang. Bukan hanya wajahnya yang cantik serta tubuhnya yang seksi, tapi banyak cerita beredar bahwa Clara begitu ahli di atas ranjang, hingga mampu membuat setiap pria yang menidurinya ketagihan. Tapi sayang ..., tidak semua pria bisa menggunakan jasanya. Hanya orang-orang yang berani membayar tiga kali lipat dari harga pasaran pelayan diskotik, yang bisa mendapatkan pelayanan dari Clara. Dan Maxi merupakan salah satu dari orang-orang tersebut. Hingga setiap kali Maxi mengajaknya, Clara tidak pernah menolak. Bahkan Clara rela membatalkan janjinya dengan siapapun, jika Maxi tiba-tiba menginginkannya.
Bukan soal bayaran yang ditawarkan Maxi, melainkan tentang perasaannya yang ternyata mencintai pemuda kaya tersebut. Hal itu sudah menjadi rahasia umum dikalangan diskotik, bahkan Clara sendiri pernah menolak lamaran seorang milyarder dari luar negeri, untuk dijadikan istri kedua. Semua itu semata karena rasa cintanya terhadap Maxi. Tapi sayangnya Maxi tidak merespon sikap Clara, dan menganggap pembicaraan orang soal Clara hanya omong kosong. Bagi Maxi ..., hubungannya dengan Clara hanya sebatas rekan. Clara pelampias nafsu, dan Maxi penyalur uang.
"Clara, bisakah kau jauhkan diri dariku? Karena hari ini aku sedang tidak berselera," ujar Maxi, datar. Pikirannya masih terus tertuju pada Lana dan Joeshen.
Entah kenapa Maxi begitu sangat marah saat melihat Joeshen melindungi Lana. Ada perasaan lain yang menghantam hatinya, bukan sekedar perasaan kesal ataupun marah yang biasa. Melainkan perasaan lain yang dia sendiri tidak tau itu apa.
"Ada apa denganmu, Max? Bukannya kamu selalu menginginkanku, Sayang?"
"Tapi tidak untuk sekarang."
"Kenapa, Max? Apa aku kurang seksi malam ini? Atau aku kurang menggairahkan?" goda Clara dengan nada manja, sambil memposisikan tubuhnya duduk di pangkuan Max. Tapi itu tidak merubah pandangan Maxi. Dia tetap fokus memandangi kerumunan orang yang sedang asik meliuk-liukan badannya, mengikuti irama musik di bawah kelap-kelip lampu disko.
"Sudahlah, Clara ... Maxi sedang tidak berselera, jadi biarlah kami bertiga yang menggantikannya malam ini," timpal Alberto sambil melirik Denis dan Leo bergantian, tapi tidak begitu dihiraukan oleh Clara.
Clara justeru semakin erat merangkul Max, dan dengan cepat diraihnya pipi Max kemudian mencium bibirnya dengan ganas.
Max berusaha menjauhkan kepalanya, tapi Clara semakin kuat menekan bibirnya ke bibir Max. Clara memaksa Max membuka mulutnya, dengan mendorong masuk lidahnya ke mulut Max dan mempertemukannya dengan lidah Max sebelum memainkannya.
***
#Next to part 3 ...,
KAMU SEDANG MEMBACA
"HATI DI PERSIMPANGAN"
RomanceBertemu dengannya adalah bencana terburuk dalam hidupku, tapi ada saatnya aku sangat merindukan wajahnya yang datar, serta kalimatnya yang begitu kasar itu. Tapi kenapa aku harus memilih dia? Ada seorang Malaikat yang selalu melindungiku darinya, da...