Lana, Joeshen serta dokter Sarah masih menunggu di depan ruang UGD. Sudah hampir setengah jam dokter menangani Max, tapi lampu hijau di atas pintu masih belum lagi menyala. Mereka sangat khawatir dengan keadaan Max mengingat luka yang ada di perutnya tadi cukup dalam, itu sebabnya dokter Sarah menganjurkan Max dibawa ke rumah sakit untuk perawatan yang lebih baik.
Ada rasa bersalah yang menggantung di hati Lana, mengingat dia sempat berpikir buruk karena kalimat Max yang mengatakan setuju jika Andi membunuhnya. Tapi ternyata Max justeru rela tertusuk pisau hingga menembus telapak tangannya, hanya untuk menyelamatkan Lana. Entah apa yang akan dia katakan pada Max nanti jika pemuda itu sadar, tapi yang jelas Lana merasa berhutang budi dengannya.
"Joe, duduklah. Kita berdoa saja semoga Max selamat," ujar dokter Sarah yang sedari tadi duduk di sebelah Lana, sambil memandangi Joeshen yang terus mondar-mandir di depan pintu UGD.
"Bagaimana aku bisa tenang, Dok mengetahui saudaraku kritis saat ini?!" Joeshen terlihat begitu mencemaskan kondisi Max, meski pada awalnya Joeshen sempat jengkel karena ucapannya tentang Lana pada Andi tadi.
"Aku tau perasaanmu, Joe tapi dengan kamu tidak tenang sekarang itu tidak merubah apapun. Max adalah anak yang kuat, jadi aku yakin jika dia akan bisa melewati semua ini," timpal dokter Sarah yang kembali teringat dengan Max kecil.
Dokter Sarah ingat ketika Max pulang bersama Joe dalam keadaan yang babak belur keduanya, karena dikeroyok oleh teman-teman bermain mereka. Tapi Max hanya diam saat dokter Sarah mengobatinya dan justeru tersenyum sambil mengatakan bahwa dia kuat, dan akan selalu melindungi Joeshen ketika Joeshen disakiti. Berbeda dengan Joeshen yang menangis sambil mengeluh perih dan sakit saat dokter Sarah mengobatinya.
"Benar apa yang dikatakan dokter Sarah, Joe. Kita sebaiknya berdoa dan berharap Max baik-baik saja ...," timpal Lana sambil berusaha membujuk Joeshen.
Joeshen menatap mata Lana yang terlihat merah karena habis menangis, tapi apa sebenarnya yang dia tangisi? Apa dia menangis karena Max? Atau karena Andi? Batin Joeshen mulai beradu kembali dengan pertanyaan yang tiba-tiba muncul secara bersamaan di dalam otaknya. Dia ingat pasti jika dia mendengar semua yang dikatakan Andi tadi, tapi apa mungkin karena itu Lana menangis? Karena dia tahu jika Joeshen pernah menolak seorang wanita hingga wanita itu bunuh diri. Sungguh Joeshen tidak bisa menemukan jawaban dari pertanyaan yang dia buat sendiri di dalam otaknya.
Beberapa saat kemudian seorang dokter keluar dari dalam ruang UGD. Lana dan dokter Sarah bergegas berdiri dan menghampiri dokter tersebut, yang tengah berdiri bersama Joe.
"Bagaimana keadaan saudara saya, Dok?" tanya Joeshen, penasaran.
"Kalian semua bisa tenang karena luka pasien tidaklah separah yang kalian khawatirkan, kita tinggal menunggu dia sadar saja," jelas dokter tersebut.
"Tapi bagaimana dengan tangannya, Dok?" sahut dokter Sarah berusaha memastikan.
"Anda tenang saja, pisau yang melukai tangannya tadi tidak sampai merusak otot serta sarafnya. Kalau dia sudah sadar, kalian bisa membawanya pulang," jelas dokter tadi sambil tersenyum tulus, membawa kelegaan tersendiri untuk Joeshen, Lana serta dokter Sarah.
Tak berapa lama, beberapa perawat keluar dari UGD dengan mendorong ranjang yang terdapat Max di atasnya. Perawat-perawat itu membawa Max ke kamar inap untuk memudahkan ahli keluarga serta orang-orang yang ingin menjenguknya.
***
Max berusaha membuka mata, beberapa kali dia mengerjapkan mata untuk membiasakan pandangannya dengan cahaya yang temaram menyinarinya. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, dia mengedarkan pandangannya ke kiri dan kanan, berusaha mengenali ruangan yang berwarna putih sepenuhnya dan terasa sangat asing baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
"HATI DI PERSIMPANGAN"
RomansaBertemu dengannya adalah bencana terburuk dalam hidupku, tapi ada saatnya aku sangat merindukan wajahnya yang datar, serta kalimatnya yang begitu kasar itu. Tapi kenapa aku harus memilih dia? Ada seorang Malaikat yang selalu melindungiku darinya, da...