Kemacetan di pagi hari sudah hal lumrah, hingga Lana dan Joeshen mampu bertahan dengan kondisi tersebut. Mereka terus mengobrol soal masa kecil Joeshen yang suka menggoda dokter Sarah, dengan mencuri perban luka dari kotak P3K bersama Max. Hingga Lana sendiri asik tertawa karena cerita Joeshen. Tapi ada kalanya dia merasa nyeri di leher ketika tertawa lepas, membuatnya merintih sesekali.
"Kalau kamu lapar, di kotak itu ada roti dan minuman soda," ujar Joe sambil menunjuk brankas kecil di depan Lana.
"Tidak, Joe. Aku makan nanti saja jika sudah sampai di tempat kos," balas Lana sambil memandangi mobil yang berderet ke belakang, berjalan pelan mengikut mobil yang di depannya.
"Oh ya ... Kenapa setiap aku sedang dianiaya oleh Max, selalu kamu yang datang buat nolongin aku? Kayak udah diatur jika kalian itu dua sisi yang bertentangan."
"Emmm ..., kalau boleh jujur ni ya. Sejak kejadian di kantin tempo hari, aku selalu perhatiin kamu," Joeshen memulai penjelasannya.
Memang Joeshen sudah tertarik dengan Lana sejak sebelum kejadian di kantin. Terlebih seusai kejadian tersebut, Joeshen makin memantapkan hatinya untuk memiliki Lana. Gadis polos, baik, ramah meski sesekali berani melawan Max, pintar, dan apa adanya, semua kriteria itu membuat Joeshen seakan melihat sosok Dewi Sinta dengan sosok manusia.
Ketika Max akan menampar Lana, Joeshen juga sedang berada di kantin. Hingga dia bisa menolongnya sebelum Max berhasil menyentuhnya.
Kejadian kedua saat Lana diculik Max, Joeshen sedang menyetir mobilnya keluar parkiran dan melihat Denis serta Alberto, yang sedang menyeret Lana masuk ke mobil. Joeshen bergegas mengikuti mobil Leo yang ternyata masuk ke rumah Max. Dan Joeshen memaksa masuk, melewati satpam rumah dengan menghajar mereka dulu. Sebelum kemudian muncul dan menolong Lana untuk kedua kalinya.
Sedangkan kejadian kemarin di gudang, Joeshen tidak sengaja menemukan buku-buku Lana serta tasnya berserakan di koridor kampus. Setelah bertanya sama beberapa orang di kampus, Joeshenpun dapat tahu yang Lana dibawa Max ke gudang.
"Ya, ya. Sungguh romantis, seperti Edward Cullen yang ingin selalu berada di samping Bella," timpal Lana meledek Joeshen.
"Hmmm ..., mulai meledekku kan. Ini bukan kisah twilight yang pernah kamu baca itu, tapi ini kisah Joeshen Del Rio dan Lana Violet," Joeshen sedikit jengkel dengan tanggapan Lana yang terkesan bercanda, tapi kemudian dibuangnya jauh perasaan itu saat senyuman Lana mengembang untuknya.
"Lagipula hanya kamu saja yang berani menghadapi Max, yang lainnya sih sudah pasti dihajar Max."
Joeshen membenarkan penyataan Lana, memang tidak ada seorangpun di kampus yang berani menghalangi ulah Max karena berisiko fatal. Tapi entah kenapa Max tidak pernah melawan jika Joeshen yang menghalanginya. Apa karena sebuah ikatan persaudaraan yang membuatnya seolah tidak mau menyentuh Joeshen? Atau karena sesuatu lain? Hanya Max yang tahu jawabannya
***
Avansa merah memasuki perkarangan luas yang dihiasi air mancur di tengah-tengahnya. Hampir di sepanjang jalan di pekarangan itu tertanam bunga mawar merah di tepinya. Rumah berlantai dua dengan gaya gothic tapi bercat putih di keseluruhannya, sudah menyambut avansa merah yang dikemudikan Max.
Seorang pria berambut putih yang tidak memenuhi kepalanya. Wajah tuanya tidak mengurangi ekspresi garang dari mukanya. Beberapa kali dia membetulkan dasi kupu-kupu yang menggantung di kerah baju putihnya, yang terbalut jas hitam sebelum kemudian menghampiri avansa merah dan membukakan pintu untuk Max.
"Pagi, Tuan Max," sapa pria tua itu sambil membungkukan badan.
"Pagi juga ... Kapan kau kembali, Al?" tanya Max pada pria tua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
"HATI DI PERSIMPANGAN"
RomanceBertemu dengannya adalah bencana terburuk dalam hidupku, tapi ada saatnya aku sangat merindukan wajahnya yang datar, serta kalimatnya yang begitu kasar itu. Tapi kenapa aku harus memilih dia? Ada seorang Malaikat yang selalu melindungiku darinya, da...