PART 13

120 4 0
                                    

Ketegangan kembali menyelubungi suasana di ruang tamu Max. Beberapa detik berlalu tanpa ada kalimat yang terucap, tapi dari tatapan Max dapat ditebak jika pemuda itu sudah sangat marah.

"Memaafkan kau bilang?! Apa kau pikir semudah itu seorang wanita memaafkan kebejatan seperti yang dilakukan Gustavo?!" Max meninggikan suaranya, sambil memandang Pak Ardian.

"Bisakah kau bicara dengan sopan pada Om Ardian dan tidak membentaknya?!" Joeshen pun ikut terbawa emosi dan berdiri sambil menunjuk Max.

"Sudah, sudah," Pak Ardian pun ikut berdiri untuk melerai, "Joe, tolong jaga emosimu. Dan Max, aku memang salah karena waktu itu tidak mau mendengar penjelasan ibumu. Tapi yang pasti aku juga tidak rela jika hubungan kami bisa berakhir dalam satu malam saja."

"Hmmm ..., itulah ketololanmu. Kau justeru bersenang-senang dengan kesendirianmu, tanpa memikirkan wanita yang hanya bisa menghayalkanmu ketika ditiduri pria lain! Apa itu yang kau sebut cinta, Ha?!"

"Tapi apa dengan kamu mengamburkan uang demi kesenangan, itu akan mengurangi kebencianmu pada Ayah? Apa dengan kamu berbuat kejam hingga ditakuti semua orang, itu akan membuatmu bisa memaafkan Ayah? Tidak, 'kan?" lagi-lagi Joeshen menyahut ucapan Max, tapi kali ini lebih tenang dan tanpa emosi.

"Mungkin tidak ... Tapi setidaknya mereka dapat tau jika Gustavo yang baik di mata mereka, adalah orang picik yang seolah bisa membeli cinta ibuku dengan harta!" bentak Max pada Joeshen.

"Mari Om kita pergi saja dari sini, percuma bicara dengan orang yang hanya ingin menang sendiri ...," tukas Joeshen yang segera meraih album foto di meja tadi, kemudian beredar dari hadapan Max yang mematung.

"Joe, tunggu," Pak Ardian segera menyusul Joeshen yang tiba-tiba berhenti di depan pintu.

"Kalau saja Mama Evelin masih hidup, tentu beliau akan sangat kecewa melihat sikapmu yang sekarang," Joeshen melontarkan kalimat itu tanpa memandang Max dan kembali melangkahkan kaki, meninggalkan rumah Max.

Max terpaku dengan kalimat Joeshen, mungkinkah dia harus melupakan semuanya dan memulai sebagai Max yang dulu? Atau haruskah semuanya berterusan? Tapi sampai kapan? Batin Max berdebat, antara hati dan pikirannya yang mulai tidak sejalan.

"Haaa!" tiba-tiba Max berteriak dan mengayunkan tangan kanannya ke meja di ruang tamu, yang terbuat dari cermin itu. Meja itu pecah dan tinggal menyisakan kerangka serta kaki meja yang terbuat dari kayu.

Max kembali duduk dengan menunduk, sambil tangan kirinya memegangi kepala. Sedangkan Alfredo yang melihat darah mulai mengalir dari tangan kanan Max, bergegas kembali ke dapur untuk mengambil kotak P3K.

Alfredo segera kembali dengan seember air hangat dan kotak P3K, yang kemudian diletakan di lantai yang kotor oleh pecahan kaca.

"Tahan, Tuan mungkin ini akan terasa sedikit perih," ucap Alfredo sambil meraih tangan Max dan membasuh darahnya menggunakan kapas, yang sebelumnya sudah dicelupkan pada air hangat. Namun Max tak bergerak sama sekali, bahkan ketika Alfredo mengusapkan obat dan membalut lukanya. Max sama sekali tidak bereaksi, seperti tidak merasakan apapun di tangannya. Wajahnya pun datar dan tatapannya kosong.

"Sekarang Tuan sudah boleh menghukum saya atas kelancangan yang membangunkan Tuan tadi," ujar Alfredo sambil mengemasi kotak P3K tadi, tapi Max tidak menjawab dan segera beredar dari hadapan Alfredo.

"Tuan?" Alfredo kembali mengingatkan ketika Max hendak melangkah kakinya ke tangga.

"Bersihkan ruang tamu,"-ujar Max datar-"Buat seperti tidak pernah terjadi apa-apa," lanjutnya yang kemudian kembali ke kamar.

Alfredo terdiam, berusaha mencerna kalimat Max. Apa itu hukuman darinya? Atau hanya sebuah keharusan sebagai pelayan? Batin Alfredo bingung menentukan, tapi segera ditepisnya dan langsung mengemasi pecahan kaca tadi.

"HATI DI PERSIMPANGAN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang