Max tetap diam sepanjang jalan, membuat Clara bingung yang bercampur dengan rasa penasaran.
Selepas mengantar Lana, Max segera pergi ke rumah Joeshen untuk menjemput Clara dan mengantarnya kembali ke apartemen. Tapi selepas mengingatkan Joeshen untuk menjemput Lana besok pagi, Max tidak bicara lagi sama sekali.
Dia berusaha menemukan sesuatu yang berbeda dari wajah Max, tapi yang didapatinya hanya ekspresi datar dan pandangan sendu. Memang belum pernah Clara melihat Max dalam keadaan sadar dengan ekspresi sedatar itu, bahkan ketika tidur pun Max tidak memiliki ekpresi seperti yang ditunjukannya sekarang.
"Apa yang kau pikirkan, Max?" tanya Clara berusaha memberanikan diri untuk mencairkan suasana tegang di mobil.
Max hanya melirik sesaat dan kemudian kembali menatap ke depan, "Tidak ada apa-apa, Clara. Aku hanya merasa lelah."
Clara mengernyitkan dahi mendengar jawaban Max yang tidak biasa itu. Namun dia berusaha untuk tetap berpikir positif dan mengiyakan jawaban yang kurang memuaskan tersebut, dengan menawarkan makan siang di restoran kesukaan Clara. Restoran yang memang terletak tidak jauh dari apartemen Clara.
Max menyetujuinya dan segera menuju ke restoran yang dimaksud oleh Clara tadi.
***
Suara musik instrumen dari salah satu group band inggris, melantun dengan pelan dari DVD yang diputar Lana. Dia mencoba menenangkan pikirannya sejenak dan melupakan semua kejadian bersama Max tadi, untuk sekedar mengistirahatkan hati dan pikirannya yang selalu terbayang wajah Max.
Berulang kali dia merubah posisi tidurnya. Namun setiap memejamkan mata, wajah Max muncul dan tergambar jelas di pikiran Lana. Ekspresi terakhir yang ditunjukan Max, yang begitu tulus dalam mengucapkan setiap kalimatnya. Tatapan sendu yang sangat memesona dan seakan merayu dalam bisu, membuat Lana semakin tidak bisa menghilangkan bayangannya. Tiba-tiba perasaan yang berbeda menjalarinya, perasaan yang belum pernah dia rasakan saat bersama Joeshen.
Apa mungkin secepat ini merindukannya? Kenapa tiba-tiba muncul keinginan yang kuat untuk melihatnya secara nyata, baik itu dalam sisi jahat maupun baiknya? Batin Lana terus bimbang oleh perasaan di hatinya yang bergejolak tidak menentu.
"Tidak ... Tidak boleh. Sejak awal aku sudah menyukai Joe yang memang lebih baik dari pada Max," gumam Lana yang kemudian bangkit dan duduk di sisi ranjang. Matanya menatap bayangannya sendiri di cermin, yang menempel pada meja di samping ranjangnya.
"Ayolah, Lana. Jangan biarkan gambaran iblis itu memengaruhi dan membuatmu jatuh cinta padanya ...," Lana mengacak-acak rambutnya, frustasi. Dia benar-benar tidak bisa memahami hatinya sendiri, yang kini tengah terombang-ambing oleh dua sosok putra Del Rio.
Namun baru Lana merebahkan tubuhnya kembali, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarnya disertai suara wanita yang memanggil namanya.
Bergegas Lana membuka pintu dan mendapati Ibu kos berdiri di sana.
"Ada temenmu bernama Andi yang menelepon, katanya nomormu tidak aktif jadi dia menelepon ke rumah," ucap wanita paruh baya itu sambil tersenyum ramah.
"I-iya, Bu ... Me-mang ada apa dia menelepon?" tanya Lana yang bingung, karena tidak biasanya teman sekelasnya di kelas biologi itu meneleponnya.
"Ibu sendiri tidak tau, tapi teleponnya belum ibu tutup. Jadi mending kamu tanya sendiri sama orangnya ya," tegas Ibu kos yang kemudian beredar dari hadapan Lana.
Lana segera menuju ke ruang tamu yang terdapat telepon rumah di sana.
"Halo ...," ucap Lana lirih, "Ada apa, Di?"
KAMU SEDANG MEMBACA
"HATI DI PERSIMPANGAN"
RomanceBertemu dengannya adalah bencana terburuk dalam hidupku, tapi ada saatnya aku sangat merindukan wajahnya yang datar, serta kalimatnya yang begitu kasar itu. Tapi kenapa aku harus memilih dia? Ada seorang Malaikat yang selalu melindungiku darinya, da...