Seperti biasa ... Pagi-pagi Lana sudah sampai di kampus dan duduk di meja pojok kantin, sambil menunggu kelas dimulai. Dia sibuk mengotak-atik tasnya dan mencari sesuatu yang hari ini sangat dia butuhkan. Dia mencari tugas makalah yang sudah diselesaikannya beberapa lalu, untuk dikumpulkan hari ini. Tapi makalah itu tidak ada di tasnya. Lana coba mengingat terakhir dia menaruh makalah tersebut, tapi semuanya pudar. Tak sedikitpun gambaran dia menaruh makalah di tempat lain, kecuali di tasnya.
"Apa kau mencari ini?" ujar seseorang di belakang Lana, hingga membuat gadis itu terperanjat karena terkejut.
Lana segera mengalihkan pandangan ke arah pemilik suara tersebut. Dahinya mengernyit dan matanya menajam saat mengetahui pemilik suara tadi.
"Bagaimana itu bisa ada padamu?!" timpal Lana, sedikit kesal.
"Hmmm ..., lupa atau berlagak lupa? Bukannya kemarin sore kamu tidur di kamarku, dengan tubuh mungil yang hanya berbalut bra dan celana dalam saja?" ledek pria itu yang tak lain adalah Max. Entah bermimpi apa Lana semalam, hingga harus berhadapan dengan pria jahat itu di pagi ini.
Pikiran Lana mulai kalut dan melayang entah ke mana, ingatannya tertuju pada handphone Max yang digunakan untuk memotret dirinya, yang terikat dalam kondisi yang memalukan. Apa harus menghindar? Atau melawan untuk merebut makalah itu? Batin Lana mulai berperang, antara takut dan kesal.
"I-itu semua atas paksaanmu!" bentak Lana berusaha mengumpulkan keberanian. Tapi hanya disambut dengan senyum kecil oleh Max yang perlahan mulai mendekatinya.
Lana melangkah mundur dan tanpa sadar kini tubuhnya sudah menempel di dinding, ingin dia lari dan menghidar tapi dia sudah terperangkap. Di samping kirinya sudah ada kursi yang menempel langsung dengan meja, yang ada di sebelah kanannya. Sedangkan di hadapannya ada seorang pria jahat, yang siap menjadikannya mangsa.
"A-apa yang ka-mu inginkan, Max?" ujar Lana gemetaran. Keringat mulai membasahi dahinya saat Max sudah semakin dekat dengannya.
Plok!
Tiba-tiba Max melemparkan makalah tersebut ke meja dan berbalik, membelakangi Lana yang masih ketakutan.
"Aku tidak berminat dengan gadis tolol sepertimu," tukas Max sambil beredar dari hadapan Lana, tapi kemudian berhenti dan menatap Lana lagi, "Urusan kita belum selesai, karena aku belum membalas perlakuanmu kemarin. Tapi ingat ... Jika kau ingin tidur di kamarku lagi, pastikan tidak ada yang ketinggalan sebelum pergi."
"Dasar, Pria Sombong, Angkuh dan Egois. Apa kau pikir aku akan mau kau perlakukan seperti kemarin, Ha?! Aku tidak akan mau menjadi seperti mereka yang takut terhadapmu!" teriak Lana yang tak mampu menahan emosinya lagi, hingga membuat Max menghentikan langkahnya dan menoleh sedikit ke Lana.
"Baguslah, jadi bersiaplah untuk pembalasan selanjutnya," tukas Max sambil tersenyum meledek, sebelum kemudian menghilang di balik dinding.
Lana melemaskan kembali tubuhnya dan duduk lagi di kursi, diembuskannya nafas panjang untuk menghilangkan ketegangan di dadanya. Berulang kali dia melakukan hal itu hingga seseorang menepuk pundaknya dari samping, dan membuat Lana hampir melompat dari kursinya.
"Hei ..., tenanglah, Lana. Aku Joe bukan hantu," ujar orang itu berusaha menenangkan keadaan.
"Kamu ... Kamu tu hampir buat aku jantungan tau nggak? Lagian sejak kapan sih kamu duduk di situ?" ketus Lana sedikit kesal, membuat Joeshen cekikikan akibat menahan tawa.
"Ya maaf. Lagian kamu kelihatan tegang banget, sampai nggak menyadari kedatanganku. Emangnya ada apa sih?"
Ucapan Joeshen membuat Lana menjadi sedikit tenang, raut wajahnya pun berubah seketika dan kerutan di dahinya sontak menghilang. Dia tersenyum simpul dan kemudian menjelaskan soal makalahnya yang hampir hilang, tentunya dengan kebohongan yang tidak mengatakan bahwa Maxi baru saja menemuinya.
Joeshen yang memang tidak sempat melihat Maxi di sana, tidak menaruh curiga dengan ucapan Lana dan segera mengajak Lana masuk ke kelas.
Lana hanya mengangguk dan kemudian menyusul Joe yang sudah melangkah lebih dulu.
***
Kelas pertama berakhir sempurna, setidaknya Lana bisa lebih awal meninggalkan kelas tanpa harus bertemu Max. Karena dosen pembimbing hari ini ada urusan mendadak, jadi dia mengakhiri pelajaran ssetengah jam lebih cepat dari biasanya.
Lana menengok ke kanan dan kiri pintu, berharap tidak melihat sosok Maxi di luar kelasnya. Setelah dirasa aman Lana melangkah meninggalkan kelas, tapi baru beberapa langkah dari pintu ada tangan yang menepuk pundaknya dari belakang. Dia terkejut dan menghentikan langkahnya, ragu-ragu dia memutar badan hingga bisa melihat seseorang di belakangnya tadi.
Matanya membelalak dan mulutnya ternganga melihat Max yang tersenyum mengejek padanya. Untuk beberapa detik dia terpesona oleh ketampanan yang bagaikan dewa yunani di cerita mitos kuno, tapi kemudian tersadar saat Max menatapnya tajam tanpa ekspresi.
"Ingat ..., urusan kita belum selesai," ucap Max yang kemudian memundak tubuh mungil Lana.
"Lepasin aku, Max! Apa yang mau kamu lakuin?!" bentak Lana, panik. Berulang kali dia berontak dengan menggoyangkan kaki, ketika Max mulai berjalan menyusuri lorong kampus.
Pelajar-pelajar yang sedang berdiri di sisi kiri dan kanan lorong pun memandangi Max, karena teriakan Lana. Tapi mereka tak berani berbuat apa-apa, mengingat bahwa Maxi Del Rio yang harus mereka hadapi.
"Bisakah kau diam?" ucap Max tanpa berhenti melangkah maupun menurunkan tubuh Lana.
"Nggak! Lepasin aku, Cowok Bodoh!" seru Lana semakin kesal. Dia meraih pinggang Max kemudian mencubitnya, hingga membuat Max kesakitan dan segera menurunkan Lana.
Melihat ada kesempatan, Lana mencoba lari ke arah yang berlawanan. Menerjang Max yang masih berlutut. Tapi sayangnya nasib sedang tidak berpihak, Max berhasil meraih kakinya dan membuatnya tersungkur.
Max masih memegangi kaki Lana dan kemudian menariknya, hingga tubuh Lana terseret di lantai meninggalkan buku-bukunya yang berserakan.
"Max! Tolong lepasin aku!" seru Lana sambil menendangkan satu kakinya berulang kali, tapi Max tidak menghiraukan teriakan gadis itu dan terus menyeretnya.
Setelah cukup lama Max menyeret tubuh Lana, diapun berhenti di depan ruangan berpintu dua. Tak ada pelakat yang menempel di pintu tersebut, hingga Lanapun tahu bahwa itu adalah gudang kampus. Tapi apa yang akan dilakukan Max? Apa dia akan mengurungku? Atau mungkin ...? Batinnya bertanya.
Max membuka pintu gudang dan meraih tangan Lana. Lana coba memberontak saat Max mengangkat tubuhnya, tapi tak banyak yang bisa dia lakukan saat kedua pergelangan tangannya digenggam oleh Max.
Buk.
Suara kardus dan benda lain yang tertindih Lana, saat Max melemparkan tubuh gadis itu.
"Apa yang mau kamu lakuin, Ha?!" bentak Lana yang seakan tidak takut lagi dengan senyuman Max.
"Hmmm ..., lihat saja sendiri," ucap Max datar dan kemudian membuka janet. Lana mulai menyadari apa yang akan terjadi, hingga dia segera menyilangkan tangan di depan dadanya dan mengapitkan kedua paha.
Max yang melihat tersebut hanya tersenyum licik, "Aku bukan ingin memperkosamu, Tolol. Lagian cewek sepertimu tidak membuatku tertarik, terlalu simple, kuno, dan kurang menggairahkan. Aku yakin untuk ciuman pun kau tidak mahir."
Sesaat Lana lega mendengar kalimat tadi, tapi kemudian panik kembali saat Max melilitkan jaketnya ke kedua tangan serta kaki Lana.
"Apa yang kamu mau, Ha?!" lagi-lagi Lana membentak Max, tapi kali ini dia menatap Max dengan tatapan marah serta mata yang mulai berkaca, "Jadi seperti ini perilaku anak Pak Rio? Pengusaha sukses yang menyumbangkan separuh hartanya untuk kampus ini, ternyata punya anak pengecut yang beraninya sama cewek doang!"
Mendengar kalimat tersebut telinga Max terasa panas, hatinya terasa sangat ngilu, darahnya seakan naik ke ubun-ubun. Tatapannya berubah sinis ke Lana, hingga membuat Lana beringsut mundur menjauhi Max. Tapi tanpa diduga ternyata Max segera meraih leher gadis itu dan mencekiknya dengan satu tangan saja.
"Le-pasin, Max!" ucap Lana terputus-putus. Nyeri serta sakit di lehernya mulai makin menjadi, tapi Max tak berucap apapun dan hanya memandang wajah gadis itu yang berubah merah akibat pernapasan yang mulai terganggu.
***
#Next to part 6 ...,
KAMU SEDANG MEMBACA
"HATI DI PERSIMPANGAN"
RomanceBertemu dengannya adalah bencana terburuk dalam hidupku, tapi ada saatnya aku sangat merindukan wajahnya yang datar, serta kalimatnya yang begitu kasar itu. Tapi kenapa aku harus memilih dia? Ada seorang Malaikat yang selalu melindungiku darinya, da...