Lana terus memikirkan kalimat yang tepat agar pertanyaan tidak sampai menyinggung perasaan Max atau bahkan membuat pemuda itu emosi, tapi sepertinya tidak sedikitpun kalimat yang tergambar di otaknya menunjukan ketepatan dalam menanyakan titik masalah yang ingin dia ketahui. Mengingat Max begitu sulit ditebak dan diduga, dia bisa berubah dalam sesaat dan melakukan apa yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Semua itu membuat Lana kehabisan akal untuk merangkai kata, karena bisa jadi kata apa, kenapa dan bagaimana yang sudah dipersiapkannya, menjadi boomerang yang akan mendatangkan musibah bagi dirinya sendiri. Lalu matanya tertuju pada tas yang ada di pangkuannya, dia teringat dengan buku-buku yang diberikan Max padanya tadi.
"Kenapa kau mengembalikan buku-bukuku? Jika kau tidak menyukaiku, tentunyan kau sudah membuangnya, 'kan?" lagi-lagi pertanyaan Lana membuat Max mengernyitkan dahi.
Sebuah pertanyaan yang menurut Max sangat konyol dan tidak perlu dipertanyakan, karena seharusnya dia merasa senang sebab buku-bukunya tidak terbuang. Tapi seperti kesepakatan yang Max buat sendiri bahwa pertanyaan yang tidak membuatnya emosi harus terjawab.
Dia mengembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Lana, "Kau tau? Aku sangat benci disebut pengecut atau pecundang."
"Lalu apa hubungannya dengan pertanyaanku tadi?" sergah Lana kebingungan.
"Dokter Sarah menyuruhku mengembalikan itu sebab jika tidak, maka akan ada berita tentang Maxi si Pengecut di kampus," tukas Max yang tidak mau bertele-tele.
"Huffft ... Baguslah jika masih ada hal yang memaksamu berbuat baik," timpal Lana menghela napas.
Namun tatapan Max tiba-tiba menajam, dia merasa tidak enak dengan kalimat Lana yang menunjukan bahwa dia masih bisa dipaksa berbuat baik. Beberapa detik dia memandang Lana yang juga memandangnya dengan tatapan bingung. Lana seakan memahami ekspresi Max yang spontan berubah dari tatapan matanya saja, entah apa yang berbeda dari tatapannya. Tapi yang jelas matanya seakan menunjukan suatu keinginan tanpa bersuara, yang pasti membuat Lana mengatupkan bibir dan menundukan kepala.
Dari sudut matanya dia melirik Max yang ternyata sudah kembali memandang ke depan, sebelum akhirnya dia mendongak dan ikut melihat ke arah yang dipandang Max.
Beberapa menit ketegangan kembali menyelubungi mereka, menjadikan suasana di dalam mobil begitu sunyi. Bahkan suara kendaraan yang berjalan mendahului mereka seakan terdengar sangat pelan, membuat nyali Lana semakin ciut.
"Apa menurutmu aneh jika tiba-tiba seorang Max berubah menjadi seseorang yang baik?" tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulut Max, tanpa memandang ke arah Lana.
Spontan Lana memandang pemuda itu dengan penasaran. Dia meneliti sudut mata dan tatapan Max yang mungkin menunjukan maksud dari pertanyaan tersebut, tapi Lana hanya mendapati sebuah ekspresi yang tidak biasa dari Max. Yah ... ketulusan yang selama ini tidak pernah ditunjukannya, tiba-tiba muncul dari raut wajah serta tatapan Max. Meski Lana belum begitu mengenalnya, tapi dia sangat yakin akan tatapan itu. Tatapan yang tidak misterius tapi seakan mengharapkan satu jawaban dari banyak hal di sana.
"Kau tau Max? Aku tidak pernah terpikir jika kau punya sifat baik di dirimu, dulu. Tapi semua pandanganku berubah ketika aku mengetahui semua cerita tentangmu dari Joeshen," Lana berucap lirih namun begitu jelas terdengar di telinga Max, mengundang perhatian pemuda tampan itu untuk menatap gadis yang selama ini tidak begitu disukainya. Sedangkan Lana justeru membuang muka ke arah jendela, dan memandangi setiap kendaraan yang dilaluinya. Pikirannya menerawang, mencoba menguasai ingatannya tentang Max yang pernah diceritakan Joeshen dan Bi Marni padanya.
"Jujur, Max aku sendiri merasakan sakit hati ketika mengetahui masalalu ibumu, tapi bukan itu alasanku memandangmu jauh ke belakang. Aku dan Joeshen hanya berharap kau bisa kembali menjadi Max yang dulu, seorang saudara sekaligus sahabat untuk Joe," Lana mulai gemetaran dengan ucapannya sendiri, dia merasa bahwa ucapannya tadi seolah menjadi godam yang dihentakannya dengan keras kepada Max.
KAMU SEDANG MEMBACA
"HATI DI PERSIMPANGAN"
RomansaBertemu dengannya adalah bencana terburuk dalam hidupku, tapi ada saatnya aku sangat merindukan wajahnya yang datar, serta kalimatnya yang begitu kasar itu. Tapi kenapa aku harus memilih dia? Ada seorang Malaikat yang selalu melindungiku darinya, da...