Setelah perjalanan hampir setengah jam, Joeshen dan Lana akhirnya sampai di rumah bergaya gothic dengan cat putih di keseluruhannya. Sekilas memang mirip dengan rumah Max, hanya saja pekarangan rumah yang diisi berbagai jenis bunga layaknya taman, pondok kecil dengan kursi dan meja yang terbuat dari marmer di tengah-tengah taman, yang membedakannya dengan rumah Max.
Gustavo sengaja membuat rumah untuk Evelina--Ibu Max dengan model yang sama dengan rumah seperti dihuni oleh Diana--Ibu Joeshen. Mereka memang tinggal di rumah yang berbeda dengan jarak yang sangat berjauhan, dengan model rumah serta luas yang sama itu untuk mengurangi rasa iri di antara keduanya. Meski begitu mereka bebas mengolah pekarangan rumah masing-masing, hingga menjadi seperti sekarang.
Biarpun mereka berada di rumah yang berbeda, tapi mereka saling menghargai dan saling menjenguk setiap minggunya secara bergantian. Tanpa pernah terdengar di telinga Gustavo, mereka saling menjatuhkan layaknya saingan yang ingin mendapatkan gelar juara. Itu sebabnya dulu sewaktu kecil, Max dan Joeshen bisa bermain bersama sepanjang hari setiap minggu. Bahkan Joeshen sering mengajak Maxi bermain ke luar dengan teman-teman di lingkungan sekitar, yang mengharuskan Max berkelahi dengan teman-teman sebayanya karena membela Joe yang selalu diledek atau pun dijaili oleh mereka.
"Ayo turun," ajak Joeshen, menyadarkan Lana dari kekagumannya atas kemewahan yang disuguhkan padanya.
Lana bergegas turun menyusul Joeshen yang sudah berada di luar mobil. Matanya tertuju pada wanita paruh baya berpakaian kebaya khas jawa yang keluar untuk menyambut Joeshen.
"Ke mana saja to, Den semalaman tidak pulang?" tanya wanita itu dengan logat jawa yang kental.
"Maaf, Bi aku sedang ada urusan di tempat dokter Sarah, jadinya nggak pulang semalam," ucap Joeshen ramah.
"Harusnya itu kasih kabar biar bibi nggak khawatir gitu lo, Den."
"Ya sudah ... Lana, ini Bi Marni. Dia yang mengatur semua di rumah ini, dan Bi Marni, ini Lana yang tempo hari pernah aku ceritain,"
"Ini to orangnya? Ayu ya, Den," ucap Bi Marni lembut sambil mengelus pundak Lana.
"Makasih, Bi," timpal Lana tersenyum malu.
"Bi, Lana akan menginap di sini beberapa hari, ya setidaknya sampai dia sembuh. Jadi tolong antar dia ke kamar ibu, karena nggak mungkin dong dia sekamar sama aku," perintah Joeshen dengan santai, "Oh ya, kalau kamu butuh apa-apa kamu minta saja sama pelayan di sini atau minta ke Bi Marni. Dan soal baju ganti kamu pakai saja pakaian milik ibu di lemari."
"Terus kamu mau ke mana?" tanya Lana yang masih canggung.
"Aku mau menemui teman ayah sebentar," Joeshen mengelus pundak Lana, "Ya sudah, Bi titip Lana sekalian tolong urut lehernya."
"Memangnya kenapa dengan lehernya, Non?" tanya Bi Marni berusaha membuat Lana agar tidak malu-malu lagi.
"I-tu, apa namanya ya," Lana berusaha berbohong.
"Biasa, Bi urusan dengan Maxi," saut Joeshen yang sudah berada di dalam mobil, "Pergi dulu ya, Bi, Lana," tegasnya yang kemudian meninggalkan Lana dan Bi Marni.
"Mari, Non," ajak Bi Marni sambil merangkul Lana dan mengajaknya masuk.
***
Joeshen memasuki gedung berlantai sepuluh dengan muka yang kusam dan pucat, serta pakaian yang berantakan tapi terkesan bersih. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan di lantai satu, hingga matanya menangkap sesuatu yang dicari.
Bergegas dia menghampiri wanita berambut hitam lurus dengan pakaian putih yang dibalut jas hitam, yang tengah sibuk menyusun kertas di atas meja.
"Maaf, apa Pak Ardian sudah datang?" tanya Joeshen mengagetkan wanita tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
"HATI DI PERSIMPANGAN"
RomanceBertemu dengannya adalah bencana terburuk dalam hidupku, tapi ada saatnya aku sangat merindukan wajahnya yang datar, serta kalimatnya yang begitu kasar itu. Tapi kenapa aku harus memilih dia? Ada seorang Malaikat yang selalu melindungiku darinya, da...