"Jika benar Tiara itu Mama Evelina, lalu Tama itu siapa?"
"Tama adalah orang yang sekarang di berdiri di depanmu, Joe ... Ardian Pratama," saut Pak Ardian sambil mengelus punggung Joeshen.
Joeshen mengalihkan pandangan ke pria tersebut, matanya merona merah menahan tangis. Dia tidak menyangka jika sikap Max selama ini karena ayahnya yang memiliki chemistry kelam.
Sejak kejadian di rumah Gustavo, Tama memang menghilang dan tidak terdengar lagi kabarnya. Hingga kematian adiknya yang memaksanya untuk muncul kembali dan mengelola perusahaan, yang dulunya dititipkan ke adiknya tersebut. Meski begitu Tama tidak ingin mengungkit masalalunya dengan Gustavo dan Tiara, serta memutuskan memakai nama Ardian agar Gustavo tidak lagi menyebut nama Tama lagi di depan Tiara.
Tapi takdir tidak bisa dicegah, masalalu adalah sejarah dan akan selalu menjadi sesuatu yang pernah dilalui manusia. Dan tidak ada manusia yang mampu menyimpan rahasia lebih baik dari sang Pencipta Semesta. Lambat laun sosok Ardian makin terdengar nyata di telinga Evelina, hingga tanpa disengaja Gustavo terlepas bicara dengan menyebutkan nama lengkap Ardian di depan istri mudanya itu.
Sebelum kematian Gustavo dan kedua istrinya, ternyata Max sudah lebih dulu menemukan album foto tersebut di lemari ibunya. Evelina yang tidak ingin terus membohongi anaknya, menceritakan kisahnya pada Max.
Setelah mendengar cerita ibunya, Max menemui Pak Ardian dan memberikan album foto itu padanya. Dan sejak saat itu juga Max tidak mau lagi bertemu dengan Pak Ardian, bahkan mengangkat teleponnya pun tak sudi.
Joeshen masih tidak bisa menerima cerita lalu yang begitu pahit tersebut. Berulang kali dia mengacak-acak rambutnya, tampak sangat frustasi. Ayah serta ibunya yang selama ini dinilai baik, ternyata mampu merebut kebahagian orang lain hanya demi keegoisan semata.
"Joe ... Maafkan Om karena harus menceritakan semua ini. Tapi Om mohon kamu jangan membenci kedua orang tuamu."
"Tidak ... Mereka sudah tiada dan hanya Om saja yang bisa menjelaskan semua ini pada Max, sebelum Max semakin banyak menimbun rasa bencinya."
***
Lana terkantuk-kantuk menunggu Joeshen yang belum kembali. Setelah mandi air hangat dan diurut sebentar oleh Bi Marni, Lana tidak segera tidur. Dia berkeliling rumah yang luas itu sambil menunggu Joeshen kembali. Ada rasa cemas di sana yang melanda, mengingat Joeshen yang semalaman tidak tidur.
Sesekali dia melihat jam dinding yang sudah menunjukan angka sebelas, beberapa kali juga dia menanyakan Joeshen pada pembantunya. Tapi jawabannya tetap sama, Joeshen belum kembali.
"Non Lana, waktunya makan siang, Non," panggil Bi Marni yang kini.berdiri di samping Lana.
"Ya, Bi ...," ujar Lana sambil bangkit dari kursinya.
"Bisa tolong hubungi Joeshen nggak, Bi?"
"Den Joeshennya nggak bisa dihubungi, Non. Nomornya nggak aktif."
Penuturan Bi Marni semakin membuat Lana khawatir. Sambil meremas-remas tangannya sendiri, Lana berjalan mondar-mandir di depan Bi Marni. Membuat Bi Marni tersenyum sendiri melihatnya, mengingat Lana yang mengaku hanya sebatas teman saat ditanyai Bi Marni sambil mengurut tadi. Tapi sikap Lana menunjukan sesuatu yang lain di sana.
"Non Lana ..., sejak Bibi tinggal di sini, Den Joeshen belum pernah menceritakan soal wanita sekalipun pada Bibi. Baru Non Lana saja wanita yang diceritakan Den Joeshen, dan baru Non saja wanita yang dibawa Den Joeshen ke rumah ini," ujar Bi Marni tiba-tiba, membuat Lana terkejut dengan penuturan pelayan yang memang sudah seperti ibu bagi Joeshen.
Tak bisa disanggah penuturan Bi Marni, karena dia lebih mengerti setiap kelu kesah Joeshen dibandingkan keluarganya sendiri. Seperti Max yang tidak pernah ingin mengerti tentang Joeshen, sejak orang tua mereka meninggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
"HATI DI PERSIMPANGAN"
RomanceBertemu dengannya adalah bencana terburuk dalam hidupku, tapi ada saatnya aku sangat merindukan wajahnya yang datar, serta kalimatnya yang begitu kasar itu. Tapi kenapa aku harus memilih dia? Ada seorang Malaikat yang selalu melindungiku darinya, da...