LIONHEARTED

March 2016 - Int'l Liaison Officer (2)

TW: Harsh words, smoking

______

       Begitulah nasib seorang international liaison officer. Ada suka, ada tawa, ada kecewa (biasanya karena kehabisan voucher breakfast buffet di restoran hotel jadi hanya makan nasi kotak yang disediakan oleh panitia), sampai yang cinta lokasi pun semua ada. Bagaimana tidak, bisa hampir satu minggu penuh—dihitung dari kedatangan hingga kepulangan artis masing-masing—mereka menghabiskan waktu bersama dari pagi hingga ketemu pagi lagi.

       “Iya deh, Kan. Tahun ini seru banget sih lebih mingle gitu ya LO sama artisnya,” ucap Raya yang selama beberapa hari di sana akhirnya dapat merebahkan tubuhnya di atas kasur yang sangat kontras berbeda tingkat keempukannya dengan lantai beralaskan karpet. H+1 jumlah liaison officer sudah jauh berkurang karena artis yang mereka tangani biasanya sudah banyak yang pulang ke negara asalnya masing-masing. Mungkin yang tersisa sekarang hanya sekitar sepuluh orang volunteer saja.

       “Artis lo balik kapan, Ray?” tanya Kania sembari berhati-hati merenggangkan tubuhnya sebab ia tak ingin mengganggu Ester yang tidur di samping kirinya, sedangkan Raya di samping kanannya.

       “Tadi subuh beberapa udah balik, dua lagi entar jam sepuluh, masih dua jam-an lagi lah,” jawab Raya setelah melihat arloji di pergelangan tangan kirinya.

       “Ah enaaak! Si Opa balik besok nih, dia minta ditemenin beli batik buat oleh-oleh entar siang. He said 'The cheapest one with great quality Kania, where should we go?' gitu,” gerutu Kania mengikuti perkataan artisnya.

       Para liaison officer memang sering menjuluki artis pria yang sudah tua dan memutih rambutnya dengan sebutan Opa. Ini opa yang berarti kakek ya, bukan oppa Korea...

       “Ya udah lo ajak ke Thamrin City aja, Kan, banyak juga kok pilihannya,” usul Raya sambil berdiri dan merenggangkan kedua tangannya ke atas.

       “Damn right! Enggak kepikiran Thamrin City loh! Gue tadinya mau ngajak ke Tanah Abang coba, enggak mungkin kan Opa gue yang ukuran badannya kayak Colonel Sanders KFC dibawa ke sana? Thank you Raya sang pemecah solusi,” ucap Kania yang segera berdiri dan memeluk Raya erat, kemudian terdengar suara dari arah pintu kamar yang memang selalu dibiarkan terbuka.

       “Woy! Pagi-pagi bikin film! Anjir enggak nyangka gue ternyata kalian berdua 'gitu',” ucap Fajar asal, diiringi langkah kaki Kania yang dengan sigap mengejar pria itu. Ia ingin membalas ucapan Fajar dengan menyentilkan jarinya ke arah jidat Fajar yang cukup lebar agar siapa tahu otak yang berada di dalamnya dapat berpikir dengan lebih baik dan benar.

       Sayangnya sang lelaki cukup gesit, ia berlari ke arah balkon yang sudah ada Reza, Bugi, Lupus, dan Jeremy yang sedang merokok serta Lolita dan Ais yang pasti sedang mengamati pemandangan kolam renang yang masih ada beberapa artis yang sedang menghabiskan waktu di sana. Berhubung tidak berada di lantai yang terlalu tinggi, jadi posisi balkon mereka sangat strategis, langsung menghadap ke kolam renang sehingga dapat dengan jelas mengamati tamu hotel yang sedang berenang atau sekedar mandi matahari.

       “Sini lo, Jar!” seru Kania kepada Fajar yang kini bersembunyi di balik tubuh Bugi yang tinggi besar.

       “Kenapa lo berdua pagi-pagi udah kayak Tom and Jerry?” tanya Bugi yang usianya paling tua di antara para liaison officer lainnya. Bugi memang sudah sesepuh karena sudah sering menjadi volunteer di festival ini jauh sebelum mereka (Raya dan kawan-kawan), sehingga Bugi akrab dipanggil Abang.

       “Masa gue sama Raya dikatain 'gitu' gara-gara liat gue meluk Raya sebagai ucapan terima kasih udah ngasih saran buat bawa Opa gue beli batik di Thamrin City rather than Tanah Abang,” jelas Kania sembari menaikkan jari telunjuk dan jari tengahnya rapat kemudian mengatupkannya sebagai isyarat tanda petik pada kata 'gitu'.