[6]

6.7K 415 12
                                    

Sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela kamar Nick. Claude mengernyitkan alisnya kala rasa hangat  merayap di dahinya. Ia mengerjap-kerjapkan matanya dan membukanya perlahan.

Gelap. Sampai kapanpun pemandangan itulah yang akan ia lihat. Ia rindu melihat pemandangan indah sinar matahari yang masuk melalui celah jendela kamar tidurnya. Ia rindu melihat bagaimana langit-langit kamarnya akan menyambut kesadarannya. Ia rindu melihat cerahnya langit yang akan menyambutnya kala ia membuka pintu balkonnya dan mendongakkan kepalanya menghirup udara segar di pagi hari.

Claude menghela napas panjang. Memikirkan itu hanya akan membuatnya semakin terpuruk. Ia bangun dari tidurnya dan menyandarkan punggungnya pada kepala tempat tidur.

Hari ini ia sudah bertekad akan keluar dari kamar asing ini. Sudah 3 hari berlalu semenjak pertengkarannya dengan Nick, dan selama itulah ia memutuskan untuk mengurung diri di kamar sebagai bentuk kemarahannya pada pria itu. Namun hal itu benar-benar tidak berguna. Ia sadar bagaimana sifat keras kepala Nick. Pria itu tidak akan merubah keputusannya walau bagaimanapun. Membantah keputusan Nick dengan kemarahan tidak akan menghasilkan apapun. Mungkin dengan kehalusanlah pria itu akan luluh. Tidak ada pilihan lain selain mencoba menerima keputusan ini dan menjalani semuanya. Perlahan tapi pasti, ia akan mencoba berbicara dengan Nick dan membuat pria itu percaya bahwa ia akan baik-baik saja walau harus tinggal sendiri.

Claude berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah mandi nanti, ia akan membuatkan sarapan untuk dirinya dan Nick. Sepertinya hal itu akan menjadi sebuah awal yang bagus.

•••

Nick memasuki apartemennya dengan langkah gontai. Ia baru pulang dari berburu sarapan, namun hanya tangan kosong yang ia dapatkan. Sepanjang perjalanan tak ada satu kedai makanpun yang buka. Ia tak tahu apakah ini masih terlalu pagi atau memang nasibnya saja yang sedang buruk?

Ia sebenarnya bisa saja membuat sarapan sendiri, tapi entah kenapa dirinya sedang dilanda rasa malas.

Ia meletakkan kunci mobilnya ke meja tengah lalu berjalan menuju dapur. Bagaimanapun ia harus membuatkan sarapan untuk Claude.

Nick membuka kulkas dan menuang segelas air. Setelah meneguknya hingga habis, ia menutup kulkas dan membalikkan badannya. Saat itulah ia membelalakkan matanya kaget hingga hampir menjatuhkan gelas di tangannya.

"C-claude...." Nick berucap lirih.

"Duduklah. Aku sedang membuat sarapan," jawab Claude tanpa membalikkan tubuhnya yang sedang asik menggoreng omelet.

Nick masih diam mematung. Ia menepuk wajahnya dengan tangan kirinya. Setelah merasakan nyeri akibat tepukan itu, saat itulah ia sadar bahwa ini memang nyata.

Senyuman lebar terulas di wajah tampan itu. Ia pun duduk di meja makan dengan wajah yang berseri-seri. Pemandangan ini, melihat seorang perempuan membuatkan sarapan untuknya, entah kenapa jantungnya mulai berdegup tidak normal. Ia berasa memiliki seorang istri. Nick terkikik geli dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aww!"

Nick tersentak, "Ada apa, Claude?" Nick berdiri dan menghampiri Claude tergesa.

"Tidak apa-apa. Aku hanya mau mencicipi omeletnya, tapi aku lupa kalau masih terlalu panas."

Nick berdecak, "Hati-hatilah, Claude. Kali ini kau memang hanya memegang omelet panas, lain kali kau bisa saja memegang minyak dalam wajan itu," ucap Nick sirat akan kekhawatiran.

How It EndsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang