Claude berjalan lesu namun senyuman masih tertengger di wajahnya. Hari ini ia pulang lebih malam dari biasanya. Sengaja, ia tak tahu mengapa ia sangat malas kembali ke rumah. Ia bahkan sempat berpikir ikut membantu jam kerja malam teman pegawainya yang lain agar bisa berlama-lama di cafe sampai besok pagi. Namun pada akhirnya ia harus tetap pulang karena temannya terus memaksanya pulang, khawatir tentang kesehatan Claude jika ia memaksa terus bekerja sampai besok pagi. Belum lagi amukan Reynold kalau sampai pria itu tahu Claude tidak pulang.
Claude menghela napas dan mendudukkan pantatnya di bangku halte. Ia sebenarnya tidak yakin kalau masih ada bus malam ini ke arah rumahnya, karena ini sudah terlalu malam dari waktu biasanya bus tersebut lewat. Tapi entahlah, kakinya seperti terus membawanya menuju halte meski sudah tahu akan fakta itu. Claude mengayun-ayunkan kakinya perlahan. Semilir angin malam yang sedikit menusuk di badannya tak membuat Claude menyerah dan pergi dari tempat itu. Ia ingin menikmati momen ini sebentar.
"Busnya baru saja lewat, nona."
Deg!
Jantung Claude berdetak kencang. Suara itu. Ia mencengkeram genggaman tangannya pada bangku dengan erat. Ia harus pergi dari sini. Saat ia hendak menegakkan badannya untuk berdiri, suara disampingnya membekukan pergerakannya, lagi.
"Kenapa kau pulang selarut ini?"
Claude menolehkan wajahnya ke samping. Ia merasakan tubuh orang di sampingnya bergeser mendekatinya, namun masih memberi jarak agar tidak terlalu dekat. Claude menundukkan wajahnya dan meneguk ludahnya gugup.
"Namaku, Nick."
Claude tersentak. Ia kembali menolehkan wajahnya ke orang di sampingnya. Ia mengerutkan alisnya tidak mengerti. Kenapa Nick memperkenalkan dirinya? Jelas-jelas dia sudah tahu namanya.
"Apa kau sudah biasa pulang selarut ini?"
Alis Claude semakin mengerut dalam. Ia benar-benar tidak tahu permainan apa yang sedang pria ini mainkan. Namun, entah setan dari mana, mulutnya tiba-tiba bergerak menjawab pertanyaan itu, "Iya."
Yang ia tahu, kini ia memilih mengikuti permainan itu. Claude dapat merasakan pria disampingnya tersenyum lebar, jangan tanyakan bagaimana caranya.
"Kau seperti temanku. Dia bekerja di cafe dekat sini dan sering pulang selarut ini. Saat kutanya apa dia tidak takut, dia dengan berani menjawab tidak takut," Claude tersenyum tipis mendengar cerita Nick yang sangat familiar baginya.
"Temanmu pasti memang sangat pemberani."
Kekehan kecil tawa Nick terdengar.
"Kau sudah tahu kalau tidak ada lagi bus lewat setelah ini?"
Claude bergumam meng-iyakan.
"Lalu kenapa kau masih kesini?"
Claud terdiam, memikirkan jawaban yang tepat, karena ia sendiri juga tidak tahu mengapa.
"Entahlah, aku hanya ingin kesini."
Tidak ada jawaban apa-apa dari pria disampingnya, membuatnya kembali membuka suara, "Kau sendiri kenapa masih disini? Kenapa tidak naik bus terakhir tadi?"
"Aku menunggu temanku."
"Temanmu?"
"Hmm, yang baru saja aku ceritakan."
Claude terdiam seketika. Dadanya terasa nyeri, seakan alasan Nick berhasil menyengkeram jantungnya kuat, karena ia tahu betul maksud dari ucapan itu.
"Kenapa tidak menemuinya di tempat kerjanya?"
Claude meneguk ludahnya kasar, apa-apaan tadi? Kenapa mulutnya malah mengeluarkan pertanyaan semacam itu?
"Tidak bisa. Dia takut padaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
How It Ends
RomanceNick Ashworth dihantui rasa bersalah semenjak mengetahui bahwa ia telah menghancurkan hidup seorang wanita yang bahkan telah memiliki beban yang begitu berat. Lalu haruskah ia mengungkapkan segalanya disaat wanita itu bahkan telah mempercayainya leb...